Kebetulan saja saya cukup lama bekerja di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang keuangan. Saya bisa menyaksikan bagaimana kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah banyak mengubah budaya kerja di tempat saya berkantor.
KPK berdiri tahun 2002. Ketika itu saya telah belasan tahun bekerja sehingga cukup hafal budaya "kekeluargaan" yang sering menjadi kebanggaan bagi senior-senior saya.Â
Kemudian setelah itu, memang tidak langsung begitu KPK berdiri langsung berubah, mungkin mulai sekitar tahun 2005, budaya kekeluargaan yang tadinya dalam tanda petik, sudah tak perlu pakai tanda baca seperti itu lagi.
Baiklah, fokus tulisan ini adalah memberi contoh perbedaan antara "kekeluargaan" dan kekeluargaan (tanpa tanda petik), agar jelas perbedaan yang saya maksud.
Suatu kali saya yang merupakan staf baru di kantor pusat mendapatkan kesempatan pertama kalinya untuk melakukan perjalanan dinas ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 1988.Â
Saya berada dalam satu rombongan dengan seorang staf senior dan seorang kepala bagian yang sekaligus bertindak sebagai kepala rombongan.
Ceritanya kami membantu memperbaiki beberapa kekeliruan dalam pembukuan di kantor cabang setempat. Tapi sang kepala rombongan hanya nongol di pagi hari pertama menjelaskan tujuan kedatangan kepada kepala cabang, dan di sore hari ketiga saat pamit karena pekerjaan telah selesai.
Saya tidak tahu ke mana saja sang kepala rombongan kelayapan, yang sibuk bekerja memang hanya saya dan si staf senior. Yang jelas saat pamit beliau muncul lagi. Kepala cabang mengucapkan terimakasih, sekaligus masing-masing kami mendapat sebuah map.
Karena saya terlihat ragu menerima map, sang kepala rombongan memberi kode agar saya menerima. Pas di mobil yang mengantar kami ke hotel, saya diceramahi oleh si bos tentang nilai-nilai kekeluargaan yang berlaku di perusahaan. Pemberian map, yang ternyata berisi amplop, adalah bagian dari budaya itu.
Atas nama kekeluargaan pula saya dan teman-teman satu angkatan yang tersebar di beberapa divisi di kantor pusat, mengumpulkan sedikit uang buat diberikan ke juru ketik di Divisi Sumber Daya Manusia, agar surat keputusan pengangkatan kami sebagai pegawai tetap dapat dipercepat.Â
Sebetulnya tentang pengangkatan pegawai tetap tersebut sudah disetujui Direksi, tapi baru berupa disposisi atas surat dari Divisi SDM. Proses berikutnya harus diketik dalam format surat keputusan secara individu.
Pangkat saya dengan teman-teman satu angkatan sampai lima tahun pertama semuanya sama. Tapi teman yang di divisi bisnis lebih kaya karena lebih kental budaya "kekeluargaan"-nya. Para pelanggan yang merasa puas dengan pelayanan teman saya itu, dengan royal memberikan tanda terima kasih.
Saya sendiri karena tidak pernah di divisi bisnis, hanya sesekali dapat tanda kekeluargaan itu, biasanya saat mau lebaran kecipratan dari teman-teman yang punya relasi dengan pelanggan kelas menengah ke atas.
Justru karena salah satu tugas saya adalah berhubungan dengan berbagai instansi karena butuh perizinan, rekomendasi atau penilaian dari berbagai instansi itu, maka saya pernah beberapa kali dibekali oleh bos untuk mengantarkan tanda kekeluargaan.Â
Betapa saya waktu itu tidak menyadari bahwa perbuatan yang saya lakukan itu, kelak setelah ada KPK, merupakan objek Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari lembaga antikorupsi tersebut.
Saya betul-betul tidak bisa membayangkan kalau saya terciduk KPK, apalagi dulu sebelum mengantarkan tanda kekeluargaan ke teman di instansi lain tersebut, saya saling kontak via telepon.Â
Tak ada ketakutan telepon kami (saya dan kawan bicara) akan disadap. Sesuatu yang amat berbeda dengan sekarang, di mana para pejabat amat berhati-hati dalam percakapan via telepon, karena merasa ada kemungkinan disadap KPK.
Tapi untunglah, sekarang budaya memberikan tanda kekeluargaan itu juga sudah hilang. Meskipun demikian untuk sekadar mengajak mitra kerja makan-makan atau bermain golf di Sabtu atau Minggu pagi, masih terjadi.
Begitu pula di level internal, praktik pemberian map oleh kepala cabang kepada petugas dari kantor pusat yang datang dalam rangka perjalanan dinas, sudah tidak ada. Namun sekadar mendapat sekardus makanan khas setempat sebagai oleh-oleh, masih terpelihara.
Kebiasaan mengirim atau menerima parsel lebaran pun praktis lenyap. Apalagi saat mendekati lebaran hampir semua BUMN memasang iklan berupa pengumuman di media cetak bahwa mereka tidak menerima bingkisan atau pemberian dalam bentuk apapun.
O ya ada tugas tambahan yang sering ogah-ogahan di lakukan para pejabat, namun wajib dibuat untuk dilaporkan ke KPK, yakni mengisi daftar harta dan kekayaan. Ini juga yang diyakini menjadi salah satu penghalang bagi pejabat untuk menerima rezeki yang tidak halal.
Maka jelaslah betapa budaya kerja telah banyak berubah dengan hadirnya lembaga yang saat ini jadi momok yang menakutkan bagi aparat negara termasuk BUMN.
Bila KPK akan dilemahkan, sungguh sangat disayangkan. Dugaan saya kalau percakapan yang rada nyerempet bagi-bagi proyek atau yang lagi bernyanyi "di sana senang, di sini senang" tanpa ada ketakutan disadap KPK, pasti banyak yang kebablasan lagi.
Kenapa tatanan yang sudah baik ini, meskipun belum sempurna, di acak-acak lagi, sehingga menjadi langkah mundur ke zaman "jahiliah"? Mencopot gigi KPK sama saja dengan mengucapkan selamat datang kembali budaya "kekeluargaan".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI