Kepindahan ibu kota negara dari Jakarta ke suatu lokasi di dekat Balikpapan di Kalimanatan Timur, ternyata menular ke Pemprov Jabar. Beberapa hari yang lalu ramai tersiar berita bahwa Ridwan Kamil yang sekarang menjadi orang nomor satu di Jawa Barat, juga merencanakan untuk memindahkan ibu kota provinsi dari Bandung ke lokasi lain.
Ada tiga lokasi yang disebut-sebut menjadi calon pengganti Bandung, yakni Tegalluar di Kabupaten Bandung, Walini di Kabupaten Bandung Barat, dan di sekitar wilayah Rebana (Cirebon, Patimban, dan Majalengka). Pertimbangan kepindahan tersebut sama dengan alasan kenapa ibu kota negara pindah, yakni Bandung sama padat dan sumpeknya dengan Jakarta alias sudah melewati ambang batas kapasitasnya.
Jika pindah ke Tegalluar atau Walini, mungkin tidak begitu masalah, karena masih dalam lingkaran Bandung Raya, ibarat dari Jakarta Pusat pindah ke Depok atau Bogor saja. Tapi bila ke Cirebon, mungkin yang teriak adalah warga Jabar bagian selatan karena jadi lebih jauh bila ada urusan ke instansi tingkat provinsi.Â
Demikian pula pegawai negeri di lingkungan pemprov, barangkali akan keberatan bila harus pindah ke Cirebon. Memang dengan terhubungnya Bandung-Cirebon melalui jalan tol, sebetulnya waktu tempuhnya tidak terlalu lama, tapi jaraknya sekitar 200 km dengan ongkos tol yang lumayan mahal, akan menjadi penghalang buat yang ingin jadi penglaju.
Namun tentu ada keuntungan lain bila Cirebon jadi ibu kota. Keinginan warganya untuk membentuk provinsi tersendiri kemungkinan akan sirna. Tapi siapa tahu, malah wilayah selatan di sekitar Tasikmalaya yang menuntut pemekaran jadi provinsi baru.
Tapi baiklah kita tunggu saja bagaimana keputusan final tentang kepindahan ibu kota Jawa Barat. Yang jelas hal tersebut pasti membutuhkan persetujuan DPRD setempat dan juga perlu konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri. Sementara itu, pemprov Jabar boleh saja melakukan studi banding ke provinsi yang sudah punya pengalaman memindahkan ibu kota.
Berbeda dengan kepindahan ibu kota negara yang belum ada presedennya, untuk ibu kota provinsi sebetulnya sudah ada pengalaman yang dilakukan Pemprov Maluku Utara (Malut), yang memindahkan ibu kotanya dari Ternate yang berada di sebuah pulau kecil ke Sofifi di daratan Pulau Halmahera, pulau terbesar di provinsi tersebut.
Sayangnya, mungkin karena lokasinya yang jauh dari Jakarta, berita kepindahan ibu kota Malut tidak banyak mengemuka di media massa nasional. Mungkin sampai sekarang banyak masyarakat yang masih mengira Ternate sebagai ibu kota Malut, mengingat kota inilah yang menjadi kota terbesar sekaligus menjadi gerbang masuk melalui bandara atau pelabuhan laut.
Provinsi Malut diresmikan tahun 1999 sebagai pemekaran dari provinsi Maluku. Saat itu Ternate ditetapkan sebagai ibu kota, karena sudah punya fasilitas ketika menjadi ibu kota kabupaten Malut. Namun sudah dalam rancangan buat mencari lokasi lain yang lebih baik karena Ternate rawan terdampak bencana kalau Gunung Gamalama yang sangat dekat dari kota itu batuk-batuk.Â
Saking terbatasnya lahan di Ternate, bila ada apa-apa di pulau kecil itu, tak ada jalan lain bagi warga Ternate selain dievakuasi ke daratan Halmahera. Memang ada pulau lain di dekatnya, yakni Pulau Tidore, tapi juga sama kecilnya dengan Pulau Ternate.Â
Untungnya dari pelabuhan Ternate ke Sofifi tidak begitu jauh. Ada dua alternatif yang bisa ditempuh yakni naik speedboat selama 45 menit dengan ongkos Rp 50.000 atau naik ferry selama 90 menit dengan ongkos Rp 15.000. Â Kalau ingin buru-buru, biasanya pegawai pemprov yang keluarganya masih tinggal di Ternate, mau tak mau harus naik speedboat.
Meskipun sejak 4 Agustus 2010 Presiden SBY sudah meresmikan pemindahan ibu kota Malut ke Sofifi, namun kepindahan dilakukan secara bertahap. Baru pada tahun 2017 semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) telah berkantor di Sofifi, seperti yang diberitakan liputan6.com (13/7/2017).
Masalahnya, sampai sekarang kondisi Sofifi masih sepi. Ramainya hanya dari pagi sampai kantor tutup di sore hari. Para pegawai mayoritas masih menglaju ke Ternate dan mengikhlaskan sebagian gajinya habis buat ongkos transportasi.
Jelaslah, kepindahan ibu kota diyakini sebagai jawaban terhadap perbaikan penataan perkotaan, baik di ibu kota lama maupun di ibu kota baru. Tapi harus diakui, bagi mayoritas pegawai sangat mengurangi kenyamanannya.Â
Atas dasar pengalaman di Malut tersebut, kalaupun akhirnya Gubernur Jabar tidak lagi berkantor di pusat kota Bandung, namun sebaiknya masih di lingkungan Bandung Raya.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H