Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Bumi Manusia" Membludak, "Perburuan" Tidak Diburu Penonton

19 Agustus 2019   21:27 Diperbarui: 19 Agustus 2019   22:37 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua film yang sama-sama dibuat berdasarkan novel karya sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, sekarang tengah ditayangkan oleh banyak bioskop di tanah air.

Kedua film tersebut adalah Perburuan dan Bumi Manusia. Beruntung sekali saya mendapat kesempatan mengikuti program nonton bareng secara maraton kedua film itu, yang diadakan oleh KOMiK, komunitas Kompasianer pencinta film, yang berulang tahun kelima.

Kami 23 orang menontonya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Cikini, Jakarta Pusat. Secara tak terduga kamipun ikut menjadi saksi sejarah karena saat kami menonton, Minggu (18/8/2019), rupanya menjadi hari terakhir beroperasinya bioskop di area TIM. 

Rupanya TIM sedang melakukan renovasi besar-besaran dan nasib bioskop di situ belum ada kepastian, apakah akan ada lagi setelah renovasi selesai atau tidak ada secara permanen.

Saya pernah menulis di sini tentang betapa tak sabarnya saya menunggu beredarnya Bumi Manusia. Soalnya saya sudah dua kali menamatkan novel yang dahsyat itu. Wajar kalau saya antusias banget.

Tapi saya belum membaca novel Perburuan. Mungkin karena itu, saya sedikit mengalami kesulitan memahami filmnya terutama pada bagian awal. Sedangkan untuk film Bumi Manusia, saya sudah tahu arah ceritanya, tinggal menikmati akting para pemain serta setting kota Surabaya lebih satu abad yang lalu, ketika orang kaya masih naik kereta kuda.

Di tulisan saya sebelumnya saya mempertanyakan akankah Bumi Manusia versi film akan mendunia seperti versi novelnya. Ada underestimate saya terhadap sutradaranya Hanung Bramantyo. Dulu waktu membuat film berlatar belakang sejarah, seperti Sang Pencerah yang merupakan kisah pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, tidak begitu greget.

Namun kali ini menurut saya film Bumi Manusia seharusnya mampu menembus pasar internasional, baik melalui jalur komersial maupun jalur festival. Paling tidak, "wajib" diputar di Belanda karena banyak kaitannya dengan sejarah pendudukan Belanda di nusantara menjelang penutup abad ke 19.

Hanung berhasil menghadirkan konflik dengan baik, lengkap dengan emosi yang sesuai dengan tuntunan cerita. Bagaimana kemarahan Nyai Ontosoroh yang kehilangan anak gadis dan perusahaannya hanya karena ia pribumi, jelas tergambar.

"Kita kalah tapi kita telah melawan" kata Nyai kepada Minke, menantunya yang harus rela kehilangan istri tercintanya. Perkawinan Minke dengan Annalies tidak sah menurut hukum Belanda, meski sah secara agama Islam.

Para pemain yang bukan bintang utama pun sangat baik penampilannya, khususnya yang memerankan Darsam, pengawal Ontosoroh yang berasal dari Madura.

Adapun film Perburuan yang disutradari Richard Oh, tampaknya kalah kelas dari Hanung Bramantyo. Memang kedua film itu sebetulnya tidak untuk diperbandingkan. Tapi bila calon penonton berniat untuk menonton salah satu dari dua film itu, tentu mau tak mau harus memilih yang diduga akan lebih menghibur.

Harus diakui bahwa kegiatan promosi sebelum film ditayangkan, Bumi Manusia jauh lebih bergema ketimbang Perburuan. Dan ketika masa putar baru memasuki hari ke empat, di beberapa bioskop yang sebelumnya menayangkan Perburuan, sudah tidak lagi memutar, karena diduga tidak lagi diburu penonton.

Menonton Perburuan dengan durasi sekitar 90 menit terasa melelahkan terutama selama separuh awal yang terlalu banyak dialog panjang. Sedangkan 180 menit masa putar Bumi Manusia tetap membuat penonton terpaku di kursi.

Tapi nilai yang terkandung pada Perburuan tak kalah hebat, demikian juga ending yang menegangkan. Pada Bumi Manusia, Ontosoroh kalah secara terhormat. 

Sedangkan pada Perburuan, Hardo yang diburu tentara Jepang, akhirnya menang, karena saat tertangkap, masyarakat sudah kompak berani melawan Jepang. Soalnya masyarakat sudah tahu kalau di Jakarta Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Justru teman Hardo yang setia menjadi tentara bentukan Jepang, posisinya terbalik menjadi pesakitan karena dinilai sebagai pengkhianat bangsa.

Kesimpulannya, sebaiknya memang tonton kedua film tersebut. Masing-nasing punya kelebihan tersendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun