Masalahnya remaja dan anak muda sekarang dalam kesehariannya memang relatif sering berbahasa gado-gado, Indonesia campur Inggris atau Inggris campur Indonesia.
Apalagi remaja yang bersekolah di sekolah berlabel internasional, tentu fasih bercas-cis-cus. Atau kalaupun sekolahnya sekolah negeri tapi kalau aktif bermain game atau berinteraksi dengan teman dunia maya yang berasal dari lintas negara, dengan sendirinya akan relatif lancar berbahasa Inggris.
Pertanyaannya, apakah nasionalisme remaja sekarang yang lebih sering berbahasa Inggris, sudah luntur? Tidak mudah untuk memberi vonis seperti itu.Â
Melarangnya pun bukan pilihan yang bijak. Dulu Presiden Sukarno pernah melarang beredarnya lagu-lagu ngak ngik ngok, yang maksudnya adalah lagu barat.
Ketika itu grup band yang baru merintis karir yang kelak merajai blantika musik pop nasional, Koes Plus, pernah dipenjarakan karena membawakan lagu-lagu The Beatles saat manggung.
Kalau berkaca pada penyanyi Filipina yang juga banyak menciptakan lagu berbahasa Inggris, tampaknya tidak berpengaruh pada nasionalisme mereka.
Di satu sisi, kita perlu mengapresiasi artis kita yang makin kreatif dan percaya diri buat mendunia. Di pihak lain, instansi pemerintah yang berkaitan, yakni Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), perlu pula membina pelaku ekonomi kreatif, termasuk musisi dan penyanyi, agar punya komitmen nasionalisme yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H