Kebetulan waktu berkunjung ke pameran buku Big Bad Wolf di Serpong, Maret 2019 lalu, salah satu buku yang saya beli adalah novel Homecoming buah karya Shashi Warrier, seorang novelis yang tinggal di Mangalore, India.
Novel tersebut bercerita tentang konflik keluarga dengan latar belakang konflik politik yang tak kunjung berakhir di Kashmir, wilayah yang diperebutkan India dan Pakistan.
Saat ini mayoritas wilayah Kashmir dikuasai India, dan sebagian lain dikuasai Pakistan. Namun pergolakan di wilayah ini adalah tuntutan menjadi negara sendiri yang merdeka.
Hanya saja, entah kenapa, ada kesan media Indonesia tidak begitu antusias mengangkat konflik Kashmir tersebut, sangat berbeda dengan yang terjadi di beberapa negara di Timur Tengah. Padahal etnis Kashmir juga mayoritas beragama Islam.
Mungkin kurangnya perhatian tersebut seiring dengan kurangnya perhatian negara yang berstatus adidaya. Berbeda dengan konflik di Timur Tengah yang melibatkan Amerika Serikat dan Rusia. Selain itu mungkin sangat sedikit warga Indonesia yang berdiam atau beraktivitas di Kashmir.
Contohnya seperti sekarang. Konflik yang telah abadi sejak 1947 atau 72 tahun yang lalu, sedang mendidih (kalau memanas memang sudah biasa). Namun kalaupun diberitakan di media arus utama hanya sebagai berita kecil saja.
Sewaktu merayakan Iduladha beberapa hari yang lalu, banyak masjid di Kashmir yang ditutup oleh pemerintah India. Padahal banyak warga Kashmir perantauan dari berbagai kota di India yang pulang ke kampungnya, tidak saja untuk berhari raya, tapi juga untuk menggerakkan demonstrasi atas dicabutnya status daerah otonomi khusus Kashmir oleh penguasa India.
Dengan demikian Kashmir menjadi wilayah terbuka yang bebas dimasuki etnis India lainnya. Inilah yang ditakutkan warga Kashmir karena komposisi demografinya bisa berubah dan manfaat ekonomi dari wilayah sengketa itu akan dipetik oleh etnis non-Kashmir.
Nah, tentang novel Homecoming, menurut saya mampu menggambarkan kondisi keseharian di Srinagar, salah satu kota utama di Kashmir. Bagaimana masyarakat menyikapi berbagai pembatasan dalam beraktivitas yang dikawal ketat oleh aparat keamanan, terungkap dari ucapan dan tindakan dari tokoh-tokoh rekaannya.
Mungkin kalau dicari kemiripannya dengan yang pernah terjadi di Indonesia, dalam skala yang lebih kecil dialami oleh Aceh waktu menjadi daerah operasi militer dulu atau di Timor Leste waktu bernama Timor Timur sebagai provinsi ke 27 Indonesia.
Novel ini tentang kisah masa tua seorang Javed Sharif yang punya bisnis sukses di New Delhi, ibu kota India. Namun bisnis ini diserahkan pada salah satu putranya karena Sharif ingin menikmati pensiun dan hidup tenang di kampung halamannya, Srinagar.
Ternyata bukan ketenangan yang didapatnya. Bahkan pas saat kedatangannya di rumah ayahnya di Srinagar telah dikejutkan oleh kedatangan polisi.Â
Kemudian seorang putranya dipenjarakan karena terlibat dalam kelompok pemberontak terhadap pemerintah pusat. Bahkan awalnya Sharif pun ikut digelandang ke kantor polisi dan sempat ditahan, kemudian dilepas karena tak terbukti sebagai pemberontak.
Harta Sharif cepat habis untuk membebaskan putranya. Ceritanya agak mirip dengan negara kita, di mana untuk menengok tahanan perlu menyogok petugas.Â
Apalagi untuk membebaskan seorang tahanan, banyak pelicin yang dikeluarkan, itupun dengan liku-liku yang terkesan amat birokratis dan butuh waktu yang amat panjang.Â
Sedangkan tentang putra yang dibawa Sharif ke Delhi, malah menipunya dengan mengambil alih aset-aset yang dikumpulkan sekian lama menjadi aset si anak yang menikah dengan seorang gadis berbeda agama. Keluarga Sharif adalah pemeluk Islam.
Inilah drama keluarga yang mengaduk-aduk emosi pembacanya. Sebagai drama, tampaknya bisa terjadi pada siapa saja di belahan dunia manapun. Bahwa seseorang yang sukses mengumpulkan harta selama tiga puluh tahun, tiba-tiba porak poranda, adalah kisah yang sering kita dengar.
Namun karena dibungkus dengan konflik politik, bagaimana pergerakan orang dari suatu tempat ke tempat lain sering dimata-matai tanpa diketahui mana yang teman dan mana yang lawan, novel ini terasa lebih menantang. Dan jelas, pengetahuan pembaca tentang konflik di Kashmir akan bertambah.
Maka hikmah bagi kita di Indonesia adalah bagaimana menciptakan dan memelihara perdamaian dalam kehidupan antar suku, ras dan agama yang bisa berjalan secara harmonis, harus menjadi tanggung jawab kita bersama. Bukan semata-mata tugas pemerintah dan aparat keamanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H