Ternyata bukan ketenangan yang didapatnya. Bahkan pas saat kedatangannya di rumah ayahnya di Srinagar telah dikejutkan oleh kedatangan polisi.Â
Kemudian seorang putranya dipenjarakan karena terlibat dalam kelompok pemberontak terhadap pemerintah pusat. Bahkan awalnya Sharif pun ikut digelandang ke kantor polisi dan sempat ditahan, kemudian dilepas karena tak terbukti sebagai pemberontak.
Harta Sharif cepat habis untuk membebaskan putranya. Ceritanya agak mirip dengan negara kita, di mana untuk menengok tahanan perlu menyogok petugas.Â
Apalagi untuk membebaskan seorang tahanan, banyak pelicin yang dikeluarkan, itupun dengan liku-liku yang terkesan amat birokratis dan butuh waktu yang amat panjang.Â
Sedangkan tentang putra yang dibawa Sharif ke Delhi, malah menipunya dengan mengambil alih aset-aset yang dikumpulkan sekian lama menjadi aset si anak yang menikah dengan seorang gadis berbeda agama. Keluarga Sharif adalah pemeluk Islam.
Inilah drama keluarga yang mengaduk-aduk emosi pembacanya. Sebagai drama, tampaknya bisa terjadi pada siapa saja di belahan dunia manapun. Bahwa seseorang yang sukses mengumpulkan harta selama tiga puluh tahun, tiba-tiba porak poranda, adalah kisah yang sering kita dengar.
Namun karena dibungkus dengan konflik politik, bagaimana pergerakan orang dari suatu tempat ke tempat lain sering dimata-matai tanpa diketahui mana yang teman dan mana yang lawan, novel ini terasa lebih menantang. Dan jelas, pengetahuan pembaca tentang konflik di Kashmir akan bertambah.
Maka hikmah bagi kita di Indonesia adalah bagaimana menciptakan dan memelihara perdamaian dalam kehidupan antar suku, ras dan agama yang bisa berjalan secara harmonis, harus menjadi tanggung jawab kita bersama. Bukan semata-mata tugas pemerintah dan aparat keamanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H