Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dapur Kurban DKI, Dimasak Chef Hotel Berbintang untuk Warga Kampung Kumuh

11 Agustus 2019   08:54 Diperbarui: 11 Agustus 2019   14:13 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak saya kecil hingga remaja di Sumatera Barat, kemudian berlanjut sampai sekarang mencari nafkah di Jakarta, saya memandang hari raya Iduladha sebagai hal yang rutin saja.

Tentu ada kebahagiaan saat melihat kesibukan orang menyembelih kambing atau sapi, menggantung dan mengulitinya, memotong-motong dan dionggok-dionggkokkan, serta diberikan kepada mereka yang sudah memegang kupon.

Boleh dikatakan setiap tahun saya menikmati lezatnya daging kurban, baik karena kebagian kupon sewaktu tinggal di kampung dulu, atau sejak tinggal di Jakarta karena disisihkan sedikit oleh panitia untuk mereka yang ikut berkurban.

Tapi ya setelah itu tak banyak kesan saya tentang suasana Iduladha. Apalagi sekarang saya tinggal di lingkungan yang relatif tidak begitu akrab dengan tetangga, sehingga setelah selesai mengikuti salat ied, terus terasa sepi.

Awal-awal di Jakarta dulu saya tinggal di kawasan padat dan banyak dihuni etnis Betawi. Ketika itu masih terasa suasana lebaran haji dari kehebohan tetangga yang asyik membakar daging kurban yang dibikin sate. Dari bau asapnya yang diterbangkan angin, sudah menggoda selera.

Namun secara umum, kesan saya dari pengamatan sekilas, seiring semakin meningkatnya penghasilan rata-rata masyarakat dan dibarengi peningkatan pemahaman masyarakat atas kewajiban sesuai ajaran agama, jumlah hewan kurban relatif banyak setiap tahunnya.

Justru masalahnya terletak pada soal distribusi. Kebanyakan daging kurban dibagi kepada warga yang rata-rata relatif sudah sering makan daging, termasuk panitia kurban yang juga kebagian daging yang lumayan.

Soalnya kesempatan dan kemauan panitia untuk mengantarkan daging ke kawasan yang dihuni masyarakat marjinal, tampaknya masih kurang. Akibatnya daging kurban hanya disebar dari situ ke situ saja.

Lagipula warga lapisan sosial terbawah itu mungkin akan menjual daging kalaupun mereka kebagian, karena tidak punya peralatan masak yang memadai dan kurang mampu juga membeli bumbu dan bahan pelengkap untuk mengolahnya.

Makanya ada kekhawatiran, tujuan mulia berkurban tidak sampai ke alamat yang tepat. Tapi sekarang tampaknya mulai ada kemajuan seperti langkah terobosan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta.

Itulah yang saya baca dari harian Kompas (10/8/2019) yang menurunkan berita pendek menarik tentang program Pemprov DKI Jakarta terkait dengan daging kurban. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun