Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Pahit Rasanya Tanpa Uang Tunai Ketika Jakarta Gelap Gulita

5 Agustus 2019   14:24 Diperbarui: 6 Agustus 2019   03:18 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar jam 11 siang di hari Minggu (4/8/2019) saya sudah membaca berita daring bahwa listrik mati di semua wilayah Jabodetabek. Tak ada kecemasan karena saya lagi di Bukittinggi dan baru akan terbang ke Jakarta sore harinya. Toh saya pikir paling lama setengah jam sudah hidup lagi, seperti yang biasa saya alami di rumah saya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. 

Tapi ketika akhirnya dari atas pesawat saat mau mendarat di bandara Halim Perdanakusuma sekitar jam 7 malam, terlihat betapa gelapnya kota Jakarta, barulah kecemasan menghantui saya. Apalagi setelah mendarat saya gagal mendapatkan driver Go Car atau Grab yang saya punya aplikasinya.

Sementara itu hape saya juga mulai low bat, padahal tempat ngecas hape di ruang tunggu bandara amat terbatas dan sudah digunakan orang lain.

Tampaknya bukan saya saja yang mengalami kesulitan memesan taksi online, karena dari omongan orang-orang di sekitar saya juga mengalami hal yang sama.

Pantas saja barisan yang mengantre di jalur yang tersedia bagi yang ingin naik taksi reguler mengular panjang sekali.

Dari sebuah postingan di grup media sosial yang saya ikut sebagai anggotanya, seorang teman mengirim berita entah dari mana sumbernya dengan judul "Andai Tidak Ada Uang Tunai". Ringkasnya bercerita tentang kesulitan yang dialami masyarakat di Kota Sapporo, Jepang, yang sudah terbiasa dengan pembayaran elektronik sehingga tidak lagi punya budaya bertransaksi secara tunai, tiba-tiba tak bisa berbelanja karena pemadaman listrik skala besar akibat gempa yang melanda kawasan tersebut.

Kemudian kisah di atas mendapat tanggapan dari beberapa teman di media sosial itu yang menceritakan mereka pun saat kemarin Jakarta tanpa listrik, juga punya pengalaman yang mirip dengan di Sapporo.

Ada yang lagi makan di salah satu mal, namun tiga kartu debit yang ia punya tak satu pun bisa digunakan, mungkin karena jaringan kominikasi yang terputus atau sistem yang mendukung bekerjanya pembayaran elektronik tersebut yang terganggu.

Ia mencoba mengambil uang tunai ke ATM, juga tidak berhasil. Untung saja ada beberapa teman lain yang diajak makan oleh teman saya itu yang punya uang tunai dan bersedia meninjamkan uangnya.

Dalam hati saya merasa tidak keliru untuk selalu membiasakan diri membawa sejumlah uang tunai setiap kali ke luar rumah, meskipun bila saya membeli sesuatu, saya lebih memilih membayar secara non-tunai.

Hanya saja tak sekali dua kali kartu saya atau sistem pembayaran melalui aplikasi tertentu tidak berfungsi, sehingga plan B dengan membayar tunai telah saya persiapkan.

Waktu saya kesulitan dalam mencari taksi untuk pulang ke rumah dari bandara Halim pun, sebetulnya di dompet saya ada uang yang lebih dari cukup untuk membayar taksi reguler. Hanya karena antrean yang amat panjang yang bikin saya pusing.

Untunglah akhirnya setelah mencoba berkali-kali, pesanan taksi online yang saya lakukan berhasil menemukan seorang pengemudi meskipun tarif yang tertera jauh di atas tarif normal.

Ya, saya pahamlah dalam kondisi jumlah pemesan lebih banyak dari kendaraan yang melayani, sistem harga secara online akan bergerak jauh lebih mahal.

Tapi saya sepenuhnya sependapat bahwa walaupun sekarang semakin marak penggunaan sistem pembayaran non-tunai, masyarakat sebaiknya tetap membawa uang tunai. Tentu tidak harus dalam jumlah yang banyak sehingga bikin dompet tebal.

Terpikir juga bagaimana dengan tempat tertentu yang membuat aturan hanya menerima sistem pembayaran non-tunai, seperti di sebuah pusat perbelanjaan di Mangga Dua, Jakarta Utara, hanya menerima kartu dari bank tertentu untuk pembayaran parkir kendaraan.

Demikian juga di beberapa gedung parkir lainnya, yang meniru sistem pembayaran jalan tol yang telah lebih dahulu menerapkan hal ini.

Jadi, soal plan B itu tadi, sebaiknya tidak hanya konsumen yang perlu berjaga-jaga dengan tetap membawa uang tunai, pihak penjual atau penyedia jasa pun perlu juga bersedia menerima uang tunai dalam kondisi darurat, seperti saat kota Jakarta mendadak gelap gulita selama sekian jam kemarin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun