Masyarakat sekarang juga  gampang melayangkan surat pengaduan bila menemukan kelakuan aparat negara yang neko-neko. Ada whistleblower system yang merahasiakan pengaduan tersebut dan tindak lanjutnya bisa ditelusuri melalui aplikasi tertentu. Lagi-lagi inipun tidak membuat jera para koruptor.
Ada kewajiban bagi semua pejabat buat melaporkan daftar harta kekayaannya secara periodik, sehingga bila ada penambahan harta yang signifikan yang melebihi penghasilannya, bisa menjadi pintu masuk aparat hukum untuk memeriksanya. Namun sementara ini laporan harta kekayaan ini masih menjadi macan kertas.
Nah, jelas bukan, kenapa akhirnya muncul secara spontan usulan buat menerapkan hukuman mati bagi koruptor? Tapi usulan ini punya masalah besar yakni menabrak Hak Asasi Manusia (HAM).
Saat ini ada 4 negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor yakni Tiongkok, Singapura, Vietnam dan Taiwan. Artinya bila Indonesia menerapkan hukuman mati, bisa dinilai sebagai langkah mundur karena negara lain sudah banyak yang meninggalkannya.
Tapi menarik juga menyimak pendapat pakar hukum Mahfud MD yang ditulis oleh tribunnews.com (3/1/2019). Menurut beliau, koruptor bisa saja dihukum mati, namun ada syarat yang harus dipenuhi.
Syarat tersebut adalah tindakan korupsi itu dilakukan pada saat negara dalam kondisi krisis. Sayangnya Mahfud sendiri mengakui tak ada ukurannya kapan disebut negara sedang krisis.
Memang tampaknya masih belum memungkinkan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Tapi kita jangan putus asa. Jika semua kita bersatu memerangi korupsi, tentu korupsi bisa hilang dari bumi pertiwi. Dirgahayu Republik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H