Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

74 Tahun Merdeka Koruptor Tetap Musuh Utama, Kenapa Tidak Dihukum Mati Saja?

17 Agustus 2019   08:05 Diperbarui: 17 Agustus 2019   13:03 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. poskotanews.com

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang terjadi tepat 74 tahun yang lalu bukanlah tujuan akhir bangsa kita. Kemerdekaan hanyalah "jembatan emas", agar kita bisa menempuh perjalanan menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur.

Namun kenyataannya, terlepas dari berbagai kemajuan yang telah kita capai, masyarakat yang adil dan makmur bagi semua orang itu, masih perlu diperjuangkan lebih keras lagi.

Musuh utama yang masih menjadi penghambat selama 74 tahun kita merdeka adalah masih merajalelanya para koruptor. Kemarin, Jumat (16/8/2019) Presiden Jokowi telah menyampaikan pidato kenegaraan yang antara lain memaparkan rencana pembangunan yang akan lebih gencar lagi di tahun mendatang.

Tapi sekali lagi, semua rencana yang bagus itu, bila tetap disertai kebocoran yang mengucur ke saku para koruptor, tentu efektivitasnya akan jauh berkurang.

Saya pernah menulis di sini tentang tidak kapok-kapoknya para koruptor beraksi. Tulisan tersebut telah mendapat banyak tanggapan dari teman-teman Kompasianer. Berbagai komentar itu dapat disimpulkan bermuara pada usulan agar diterapkan hukuman mati bagi koruptor, biar yang lain pada nyahok.

Sangat mungkin teman Kompasianer yang meminta agar diberlakukan hukuman mati, juga meragukan apakah usul tersebut akan didengar oleh pihak yang berwenang. Namun harus diakui, usul seperti itu bisa lahir secara spontan karena banyak dari kita yang sudah kehabisan akal, apa lagi yang perlu dilakukan agar korupsi bisa berhenti.

Tampaknya memang hukuman mati itu yang belum dicoba. Hanya sekadar terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih nggak ngefek. Tidak menimbulkan efek jera. Padahal KPK-lah yang sekarang menjadi tumpuan utama masyarakat karena independensinya relatif masih terjaga.

Bayangkan, sumpah jabatan yang diucapkan para pejabat saat dilantik, tidak lagi bernilai sakral, hanya sekadar formalitas belaka. Pengawasan berlapis dari pihak internal dan eksternal dari suatu instansi pun, tak membuat kasus berkurang.

Gaji aparat negara sudah pula dinaikkan. Ditambah lagi gaji ke 13 dan juga THR. Tapi syahwat korupsi tidak surut. Gaji aparat hukum juga naik agar tidak main mata dengan koruptor yang disidangkan. Tapi masyarakat masih dibuat geram karena hukuman yang dijatuhkan buat para koruptor masih relatif ringan.

Demikian pula karir pegawai negeri sudah diatur agar mereka yang kompeten bisa memperoleh promosi jabatan. Bahkan katanya pakai sudah metode lelang jabatan secara terbuka yang bisa dilamar oleh yang memenuhi syarat serta mengikuti seleksi secara objektif. Tapi malah masih ada yang terkena kasus korupsi karena menerima gratifikasi dari anak buah yang dipromosikan.

Sistem tender dalam pengadaan barang sudah pakai e-procurement. Lalu lintas pembayaran sudah pula menerapkan sistem non tunai. Nyatanya korupsi dari pengadaan barang atau pengadaan proyek masih saja bermunculan.

Masyarakat sekarang juga  gampang melayangkan surat pengaduan bila menemukan kelakuan aparat negara yang neko-neko. Ada whistleblower system yang merahasiakan pengaduan tersebut dan tindak lanjutnya bisa ditelusuri melalui aplikasi tertentu. Lagi-lagi inipun tidak membuat jera para koruptor.

Ada kewajiban bagi semua pejabat buat melaporkan daftar harta kekayaannya secara periodik, sehingga bila ada penambahan harta yang signifikan yang melebihi penghasilannya, bisa menjadi pintu masuk aparat hukum untuk memeriksanya. Namun sementara ini laporan harta kekayaan ini masih menjadi macan kertas.

Nah, jelas bukan, kenapa akhirnya muncul secara spontan usulan buat menerapkan hukuman mati bagi koruptor? Tapi usulan ini punya masalah besar yakni menabrak Hak Asasi Manusia (HAM).

Saat ini ada 4 negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor yakni Tiongkok, Singapura, Vietnam dan Taiwan. Artinya bila Indonesia menerapkan hukuman mati, bisa dinilai sebagai langkah mundur karena negara lain sudah banyak yang meninggalkannya.

Tapi menarik juga menyimak pendapat pakar hukum Mahfud MD yang ditulis oleh tribunnews.com (3/1/2019). Menurut beliau, koruptor bisa saja dihukum mati, namun ada syarat yang harus dipenuhi.

Syarat tersebut adalah tindakan korupsi itu dilakukan pada saat negara dalam kondisi krisis. Sayangnya Mahfud sendiri mengakui tak ada ukurannya kapan disebut negara sedang krisis.

Memang tampaknya masih belum memungkinkan penerapan hukuman mati bagi koruptor. Tapi kita jangan putus asa. Jika semua kita bersatu memerangi korupsi, tentu korupsi bisa hilang dari bumi pertiwi. Dirgahayu Republik Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun