Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Balada Penemu Benih Padi, Jangan Biarkan Kreativitas Mati

23 September 2019   09:08 Diperbarui: 23 September 2019   09:31 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini dipicu oleh kisah miris yang dialami seorang kepala desa di Aceh. Munirwan, Kepala Desa Meunasah Rayeuk, Kabupaten Aceh Utara, seperti yang diberitakan Kompas.com (29/7/2019), ditahan oleh pihak kepolisian setempat karena mengedarkan benih padi IF8 tanpa label atau sertifikasi melalui PT Bumades Nisami Indonesia (BNI).

Penahanan tersebut telah menimbulkan polemik. Mereka yang pro tindakan penahanan tentu karena alasan mematuhi ketentuan hukum. Tapi bagi mereka yang tidak setuju, lebih melihat tindakan penahanan tersebut tidak mendidik dan cenderung mematikan kreativitas. 

Memang sang kepala desa kemudian ditangguhkan penahanannya berkat permohonan yang diajukan Koalisi NGO HAM. Namun menurut pihak kepolisian, penangguhan itu bukan karena tekanan publik, melainkan karena pertimbangan kemanusiaan. 

Berita terbaru dari kasus penemu benih padi di atas menyebutkan bahwa saat ini Kementerian Pertanian sedang memproses sertifikasi dan pelepasan benih padi IF8 (kompas.com, 19/8/2019). Semoga proses seritifikasi ini tidak memakan waktu yang lama, karena benih tersebut ternyata sangat dibutuhkan oleh para petani di Aceh.

Baik, kita tinggalkan kisah di atas dengan harapan bisa berakhir dengan happy ending. Kita beralih ke program yang telah dicanangkan  Presiden Jokowi untuk fokus meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di tanah air. 

Dalam hal ini perlu dicamkan, SDM yang bagus itu bukan hanya sekadar berhasil dalam pendidikan formal, tapi yang mampu menciptakan lapangan kerja serta memberi manfaat buat masyarakat.

Untuk itu tak bisa lain, unsur kreativitas menjadi hal mutlak bagi terbentuknya SDM yang berkualitas. Masalahnya apakah kita sudah punya iklim yang kondusif untuk menumbuhkan kreativitas bagi masyarakat, khususnya anak muda sebagai pemilik masa depan?

Masihkah kita menghalangi niat anak-anak kita yang ingin berwirausaha karena merasa lebih bergengsi bila mereka jadi pegawai negeri atau pegawai perusahaan yang mapan?

Masihkah guru-guru kita lebih menyukai murid yang diam menyimak kata-kata guru dan mampu menghafal dengan baik apa yang dijelaskan guru ketimbang murid kritis yang banyak tanya?

Masihkah bos-bos di banyak instansi kita menyukai anak buah yang berprinsip ABS (Asal Bapak Senang)? Kenapa kalau ada yang punya ide agak nyeleneh, langsung di-bully? Akhirnya mereka yang cepat dipromosikan adalah anak manis penuh sopan santun yang selalu bilang "iya" pada atasannya.

Bagaimana seharusnya kita menghargai kreativitas jika dihadapkan pada ketentuan hukum atau peraturan yang berlaku di tempat tertentu seperti di sekolah, di kantor, atau di tempat lain?

Apakah kita mengartikan bahwa sepanjang tidak diatur artinya dibolehkan melakukan sesuatu,  atau jangan coba-coba melakukan sesuatu yang belum ada aturannya. Ini dua hal yang amat berbeda. Yang pertama menyuburkan kreativitas, sedang yang kedua mematikan kreativitas.

Pemerintah sudah begitu serius untuk menumbuhkembangkan kreativitas masyarakat. Buktinya sudah dibentuk lembaga khusus yang disebut Badan Ekonomi Kreatif, yang pada kabinet mendatang statusnya akan ditingkatnya menjadi kementerian tersendiri.

Tapi semua itu harus dibarengi dengan perubahan budaya masyarakat. Sistem pengajaran di sekolah perlu bersifat interaktif. Sistem penilaian kinerja karyawan di kantor juga perlu diubah dengan memberikan bobot yang lebih besar pada kreativitas dan inovasi.

Pandangan orang tua yang menganggap menjadi pegawai lebih mulia ketimbang berwirausaha, juga perlu diubah. Sebetulnya sekarang ini, mulai terlihat kecendrungan lulusan perguruan tinggi menginginkan punya usaha sendiri. Namun sering dipandang sebelah mata oleh orang tua yang mengatakan buat apa capek-capek kuliah kalau akhirnya jadi pedagang?

Apalagi kalau dari usaha tersebut, si anak mengalami kerugian, semakin dihujat oleh orang tuanya. Padahal jatuh bangun adalah proses seorang wirausahawan bisa sukses nantinya. Bukankah lebih baik mencoba sesuatu meskipun gagal, dari pada berdiam diri berpangku tangan?

Tak bisa lain, bila SDM kita ingin maju, lakukan perubahan sekarang juga dimulai dari diri kita masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun