Kompas (25/7/2019) memberitakan kasus gagal bayar utang yang menimpa PT Delta Merlin Dunia Tekstil (selanjutnya disingkat DMDT). Utangnya dalam bentuk obligasi senilai 300 juta dolar AS dengan jangka waktu 5 tahun dan suku bunga (untuk obligasi disebut kupon) sebesar 8,625 persen per tahun.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, kasus gagal bayar DMDT tersebut lebih dipengaruhi faktor internal perusahaan.Â
Lebih lanjut Ade berpendapat kasus tersebut mempunyai sejumlah anomali yang perlu dicermati, sebab terjadi saat kondisi tekstil nasional tumbuh dengan ekspornya diperkirakan senilai 14,6 miliar dolar AS tahun ini.Â
Beberapa kasus gagal bayar dari perusahaan besar lainnya yang belum lama terjadi dan ramai diberitakan media massa adalah yang terjadi di Jiwasraya (sebuah perusahaan asuransi milik negara), dan perusahaan swasta di bidang pembiayaan, SNP Finance.
Ironisnya, saat perusahaan besar mendapat pinjaman, baik dari hasil penjualan obligasi maupun utang dari bank, yang kalau jumlah utangnya dinilai dalam rupiah sudah di atas Rp 1 triliun, justru dianggap sebagai "prestasi".Â
Jangan heran kalau pihak manajemen perusahaan yang menerima utang tersebut mengadakan jumpa pers agar diberitakan secara luas. Bahkan ada yang mengiklankan yang menggunakan space yang luas di surat kabar ternama, bila itu berupa penjualan obligasi.
Agar bank mau memberi pinjaman atau agar obligasinya dapat diterbitkan, pasti sudah menempuh sejumlah review dari banyak pihak terkait yang menyimpulkan bahwa perusahaan besar tersebut punya prospek yang bagus sehingga dapat dipercaya.
Artinya, pihak yang diberi utang adalah pihak yang dipercaya. Ini sejalan dengan istilah kredit yang berasal dari kata credere yang artinya kepercayaan. Perusahaan yang dipercaya tentu saja konotasinya positif. Makanya disebut sebagai prestasi.
Namun dalam perjalanannya, tetap ada ekses. Sejumlah perusahaan besar yang tadinya dipercaya itu ternyata belakangan mengalami gagal bayar. Ya, sehebat apapun metode menilai prospek sebuah perusahaan, tentu tetap tidak menjamin seratus persen akurat. Itulah yang terjadi pada perusahaan DMDT di atas.
Nah, bayangkan bagaimana maraknya pinjaman online (pinjol) saat ini, di mana perusahaan fintech begitu gampang mengucurkan kredit bagi mereka yang mengajukan permohonan melalui aplikasi yang terpasang di gadget-nya, tanpa review apapun asal identitas peminjam sudah jelas.
Jangan buru-buru menganggap mereka yang dapat pinjol sebagai "prestasi" seperti halnya di perusahaan besar. Yang ada justru dipermalukan bila mereka menunggak, karena datanya akan disebar oleh fintech terkait ke daftar teman media sosial si peminjam.
Maka kembali ke filosofi pemberian kredit, bila terjadi berdasarkan kepercayaan, semuanya kemungkinan besar akan baik-baik saja, si peminjam dan yang meminjamkankan sama-sama hepi. Kalaupun ada yang berujung dengan gagal bayar, persentasenya relatif sedikit.
Namun bila kredit diberikan atas dasar asal uang kembali dengan bunga tinggi dan menghalalkan secara cara untuk menagih, termasuk intimidasi dan mempermalukan di media sosial, ini jelas praktek yang tidak sehat.
Mereka yang terlalu gampang dapat utang, padahal masih belum melihat dari mana sumber pengembaliannya, jelas bukan cara cerdas dalam berutang. Juga bukan cara cerdas bagi pemberi pinjaman.Â
Maksudnya jangan salahkan si peminjam yang kepepet saja. Pihak pemberi pinjaman yang terkesan main tubruk semua permohonan, juga salah.
Berutang atau memberi utangan bukan soal adu nekat. Semuanya harus terukur dan terkendali bagi kedua belah pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H