menteri, tak pernah juga jadi komisaris BUMN, kok berani-beraninya menulis seperti yang terbaca pada judul di atas.
Mohon maaf kalau saya dinilai lancang. Saya yang bukan siapa-siapa ini, tak pernah jadiTapi berbekal pernah bertugas di divisi akuntansi sebuah BUMN yang tentu berhubungan dengan data keuangan, perkenankan saya sekadar menyampaikan pendapat yang jelas-jelas bersifat subjektif.
Meskipun demikian, sebetulnya kalau mau sedikit berusaha mencari informasi yang relevan yang bertebaran di dunia maya, siapapun bisa menulis tentang hal ini dan bebas menyimpulkan sesuai seleranya.
Begini, ada kesan semua partai dan elemen lain yang menjadi pendukung Jokowi-Ma'ruf sedang kasak kusuk mengajukan nama-nama untuk dipertimbangkan menduduki kursi menteri pada kabinet mendatang.Â
Namun berkaca pada pengalaman periode sebelumnya, termasuk sebelum Jokowi menjadi Presiden, "jatah" parpol tidak hanya kursi menteri, tapi juga duta besar dan komisaris BUMN.
Nah, dari ketiga posisi di atas, komisaris BUMN yang paling empuk. Pekerjaannya tidak begitu sibuk, biasanya rapat seminggu sekali, dan gajinya tak kalah besar dengan gaji menteri.Â
Justru ada unsur penghasilan yang tak diperoleh menteri tapi didapat secara halal oleh komisaris BUMN, yang disebut dengan tantiem. Tantiem ini semacam bonus bagi direksi dan komisaris yang dihitung berupa persentase tertentu dari laba tahunan sebuah BUMN.
Maka jangan heran bila BUMN gemuk yang perolehan labanya di atas Rp 10 triliun per tahun seperti Pertamina, BRI, Bank Mandiri, BNI, dan Telkom, tantiem yang diterima seorang komisaris setiap orangnya per tahun sudah miliaran rupiah.
Hal tersebut bisa dilihat dari annual report masing-masing BUMN. Kecuali Pertamina yang belum go public, BUMN lain yang disebutkan di atas gampang diakses laporan keuangannya.
Dari sisi risiko hukum, komisaris BUMN juga relatif aman. Jarang terdengar bila terjadi suatu kasus di sebuah BUMN yang sampai menyeret komisarisnya. Soalnya komisaris tidak ikut dalam memutuskan hal-hal yang bersifat bisnis atau operasional sehari-hari.Â
Komisaris hanya menerima laporan dari direksi dan melakukan fungsi pengawasan. Sedangkan menteri sudah banyak contohnya yang tersandung kasus hukum dan bahkan ada yang dipenjarakan.
Godaan bagi menteri memang lebih besar karena terkait dengan penggunaan anggaran. Banyaknya proyek yang harus dikerjakan adakalanya menimbulkan inspirasi untuk "dibagi-bagikan" pada rekanan tertentu yang diistimewakan.
Jelas bukan, kenapa saya berpendapat kursi komisaris BUMN lebih empuk ketimbang kursi menteri. Tapi bila niatnya ingin bermain proyek, tentu jadi menteri lebih asik. Hanya saja harus siap-siap dengan operasi tangkap tangan (OTT) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengingat demikian banyaknya pihak yang berkeringat mendukung Jokowi-Ma'ruf, pasti tidak mungkin semuanya akan terakomodasi dalam kabinet. Boleh-boleh saja memohon untuk jadi menteri sebagai pancingan dengan harapan akan ditolak, tapi sebagai "penghibur" dijadikan komisaris BUMN.
Kembali saya ulangi, pendapat saya bersifat subjektif. Padahal sangat mungkin tak ada yang namanya pembagian jatah kursi menteri ataupun kursi duta besar dan kursi komisaris.
Pastilah semuanya tergantung kompetensi masing-masing. Orang partai yang kompeten bisa berharap untuk mendapatkan penugasan agar mampu berkontribusi lebih besar bagi bangsa. Sama sekali bukan demi penghasilan pribadi dan bukan pula demi proyek.
Kalau sudah begitu tentu tidak lagi relevan membicarakan kursi mana yang lebih empuk. Toh motivasinya untuk mengabdi bagi negeri tercinta ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H