Godaan bagi menteri memang lebih besar karena terkait dengan penggunaan anggaran. Banyaknya proyek yang harus dikerjakan adakalanya menimbulkan inspirasi untuk "dibagi-bagikan" pada rekanan tertentu yang diistimewakan.
Jelas bukan, kenapa saya berpendapat kursi komisaris BUMN lebih empuk ketimbang kursi menteri. Tapi bila niatnya ingin bermain proyek, tentu jadi menteri lebih asik. Hanya saja harus siap-siap dengan operasi tangkap tangan (OTT) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mengingat demikian banyaknya pihak yang berkeringat mendukung Jokowi-Ma'ruf, pasti tidak mungkin semuanya akan terakomodasi dalam kabinet. Boleh-boleh saja memohon untuk jadi menteri sebagai pancingan dengan harapan akan ditolak, tapi sebagai "penghibur" dijadikan komisaris BUMN.
Kembali saya ulangi, pendapat saya bersifat subjektif. Padahal sangat mungkin tak ada yang namanya pembagian jatah kursi menteri ataupun kursi duta besar dan kursi komisaris.
Pastilah semuanya tergantung kompetensi masing-masing. Orang partai yang kompeten bisa berharap untuk mendapatkan penugasan agar mampu berkontribusi lebih besar bagi bangsa. Sama sekali bukan demi penghasilan pribadi dan bukan pula demi proyek.
Kalau sudah begitu tentu tidak lagi relevan membicarakan kursi mana yang lebih empuk. Toh motivasinya untuk mengabdi bagi negeri tercinta ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H