Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sawahlunto, Kota Hantu Bekas Tambang Kini Jadi Destinasi Wisata Unggulan

9 Agustus 2019   11:30 Diperbarui: 9 Agustus 2019   12:12 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu gedung peninggalan Belanda di Sawahlunto (dok. tempo.co)

Semakin panjang daftar warisan budaya dunia yang mendapat pengakuan dari Unesco, Badan PBB untuk sosial dan budaya, yang berasal dari Indonesia. 

Terakhir, kota Sawahlunto yang terletak lebih kurang 95 km dari kota Padang arah ke timur, telah ditetapkan sebagai warisan dunia kategori budaya pada sidang Komite Warisan Dunia Unesco di Baku, Azerbaijan, Sabtu (6/7/2019) lalu.

Kenapa Sawahlunto terpilih, rasanya telah banyak dikupas di media massa, termasuk di Kompasiana. Tapi sekadar menyegarkan kembali, ada baiknya dikutipkan berita di Kompas.com (7/7/2019) terkait hal tersebut. 

Intinya adalah Sawahlunto punya warisan tambang batubara yang menunjukkan adanya pertukaran informasi dan teknologi lokal dengan teknologi Eropa di masa akhir abad 19 sampai awal abad 20.

Selain itu, Sawahlunto juga merupakan contoh luar biasa dari tipe bangunan, karya arsitektur dan kombinasi teknologi atau lanskap yang menggambarkan tahapan penting dalam sejarah manusia. 

Warisan tambang yang telah berusia lebih dari satu abad tersebut berhasil mengubah kawasan terpencil menjadi daerah perkotaan yang dinamis dan terintegrasi.

Namun tulisan ini tidak akan fokus pada warisan budayanya, namun lebih tertarik mengangkat bagaimana sebuah kota yang dulu menjadi kotamadya terkecil dan tersedikit penduduknya di Indonesia, kemudian bertransformasi menjadi salah satu destinasi wisata utama di Sumbar, setelah lama mati suri ketika era penambangan batubara berakhir.

Kota tersebut telah berumur hampir 131 tahun karena tanggal 1 Desember 1888 tercatat  sebagai hari kelahirannya secara resmi, seiring dengan dibukanya tambang batubara tertua di kawasan Asia Tenggara di daerah yang sebelumnya hanya desa kecil yang terpencil di tengah hutan belantara.

Kemudian pemerintah kolonial Belanda memberikan status Gementee (kotapraja yang bersifat otonom) pada tahun 1918, mengingat Sawahlunto memberikan kas yang melimpah bagi penjajah Belanda seiring melonjaknya kebutuhan akan batubara sebagai sumber energi  ketika itu.

Setelah Indonesia merdeka, cadangan batubara makin menipis. Namun meskipun Sawahlunto hanya berpenduduk belasan ribu orang saja sampai dekade 1980-an, tetap mendapat status kotamadya karena latar belakang sejarahnya yang terbilang istimewa itu. 

Tapi apalah artinya kebanggaan akan masa lalu. Banyak yang bilang Sawahlunto ibarat kota mati, ada pula yang menjulukinya kota hantu karena banyak ditinggalkan warganya merantau ke daerah lain. Akhirnya masyarakat Sumbar sendiri banyak yang  tak lagi mengenal kota arang itu, bahkan terkesan tak begitu peduli.

Untungnya sejak tahun 199o Kota Sawahlunto diperluas dari 7,78 km2 menjadi 273,45 km2, sehingga menjadi kota terluas kedua di Sumbar setelah Padang. 

Salah satu sentra produksi kain songket terkenal, Silungkang, yang dulunya masuk daerah kabupaten Sijunjung, sekarang masuk sebagai daerah perluasan kota Sawahlunto. Penduduknya pun bertambah menjadi sekitar 50.000 jiwa.

Sekadar perluasan kota saja kalau tidak diikuti dengan penggalian segenap potensi, juga belum berhasil menghidupkan kembali Sawahlunto. Barulah ketika era reformasi yang memungkinkan wali kota dipilih secara lebih demokratis, seorang pengusaha ibu kota asal Sawahlunto, terpanggil untuk membangun kampung halamannya.

Amran Nur, nama sang pengusaha tersebut, akhirnya dipercaya warga Sawahlunto untuk menjadi wali kota selama dua periode dari 2003 hingga 2013. Ia berhasil melakukan transformasi dengan mengubah predikat dari kota hantu menjadi destinasi wisata unggulan di Sumbar.

Amran tidak bertindak secara sendirian. Ia terlebih dahulu mengundang para pakar untuk mengkaji potensi Sawahlunto dan merumuskan konsep pariwisata yang mau diangkat. Tak ketinggalan pula Amran melakukan workshop dengan sejumlah seniman, perajin, dan pekerja kreatif yang sudah punya nama di tingkat nasional.

Setelah punya konsep yang jelas, Amran juga tidak buru-buru mengeksekusinya, melainkan melakukan soisalisasi untuk meyakinkan masyarakat bahwa kreativitas warga sangat diperlukan untuk menunjang pariwisata. Hal ini tidak semata-mata untuk meningkatkan pendapatan daerah, tapi terutama juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kompas.com (1/12/2013) menulis bahwa perajin songket dari hanya berjumlah 50 orang di tahun 2003, menjadi 700 orang pada 2013. Jenis pariwisata yang dikembangkan pun tergolong unik, yakni yang berkaitan dengan peninggalan tambang batubara, antara lain menyulapnya menjadi Museum Mbah Suro (menyusuri terowongan batubara bawah tanah), Museum Gudang Ransum dan Museum Kereta Api.

Jalur kereta api tersebut dulunya sengaja dibangun Belanda untuk keperluan pengangkutan batubara dari Sawahlunto ke pelabuhan laut Teluk Bayur di selatan kota Padang untuk seterusnya dikapalkan ke Eropa.  

Amran Nur, yang mengubah Sawahlunto (dok.tempo.co)
Amran Nur, yang mengubah Sawahlunto (dok.tempo.co)
Namun harus diakui, masyarakat kita belum terbiasa berwisata ke museum. Makanya sebagai daya tarik dibangunlah waterboom dan taman satwa di lahan reklamasi bekas tambang. Anak-anak tentu tertarik dengan objek ini dan diantarkan oleh orang tuanya. 

Sedangkan untuk menarik minat anak muda, berbagai festival berkelas nasional dan internasional diadakan di Sawahlunto. Hal ini cukup ampuh sebagai media promosi agar dilirik para wisatawan luar daerah dan mancanegara. Festival tersebut antara lain Sawahlunto International Music Festival dan Sawahlunto International Songket Carnival. 

Tour de Singkarak yang merupakan event lomba balap sepeda internasional tahunan kebanggaan Sumbar, selalu menyertakan Sawahlunto sebagai salah satu kota yang dilewati para pembalap.

Dengan berbagai trik tersebut, akhirnya berbagai museum di atas juga dikunjungi wisatawan, termasuk larisnya gedung-gedung kuno peninggalan Belanda dengan arsitekturnya yang menawan dijadikan sebagai latar belakang berfoto.

Kondisi kota Sawahlunto yang berbukit ditambah dengan lubang bekas galian tambang yang membentuk kuali raksasa dengan jalan yang melingkar dari ketinggian, juga menjadi pemandangan yang menarik.

Festival Songket Sawahlunto (rayapos.com)
Festival Songket Sawahlunto (rayapos.com)
Amran Nur telah berpulang ke rahmatullah pada tanggal 22 Juni 2016 di Jakarta pada usia 71 tahun dan dimakamkan di Sawahlunto. Untuk mengenang jasanya, salah satu jalan di Sawahlunto diberi nama Jalan Amran Nur.

Tugas wali kota penerus Amran Nur, yakni Ali Yusuf dan dilanjutkan saat ini oleh Deri Asta, tentu tinggal memelihara dan mengembangkan agar Sawahlunto semakin menggeliat perekonomiannya, salah satunya melalui sektor pariwisata yang melibatkan masyarakat setempat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun