Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Menakar Ketahanan Bank, Jangan Terlalu Percaya dengan "Stress Testing"

17 Juni 2019   22:10 Diperbarui: 18 Juni 2019   00:00 1001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stress Testing (selanjutnya ditulis ST) dalam konteks perbankan adalah adalah suatu metode pengujian daya tahan sebuah bank terhadap berbagai kondisi tekanan yang mungkin terjadi. Hal ini rutin dilakukan oleh semua bank, paling tidak setiap tiga bulan, sesuai dengan regulasi yang diminta oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Memang kewajiban bank-bank di negara kita untuk membuat ST relatif belum begitu lama, barangkali juga karena mengikuti apa yang berlaku pada praktik perbankan secara internasional. Setelah krisis keuangan terutama yang menimpa Amerika Serikat (AS) pada tahun 2008,  pihak otoritas moneter di banyak negara mewajibkan bank-bank di negaranya membuat ST sebagai upaya pencegahan dan sekaligus menguji sejauh mana daya tahan bank bila terjadi krisis serupa.

Karena aset perbankan di negara kita lebih dominan dalam bentuk pemberian kredit, maka yang paling utama dari penyusunan ST adalah melihat dampak dari suatu kejadian seperti krisis perekonomian terhadap apa yang disebut dengan non-performing loan (NPL). Secara gampang NPL dapat diartikan sebagai kredit yang menunggak. 

Seharusnya ada aliran dana masuk ke bank dari cicilan pokok dan bunga kredit, namun belum bisa dibayarkan si peminjam karena usahanya sedang lesu. Kenapa lesu? Ya balik lagi, karena lagi krisis, tentu kurs rupiah melemah tajam dan inflasi naik gila-gilaan, pastilah dunia usaha sempoyongan.

Jika NPL suatu bank demikian besarnya, sebut saja 10% (dalam kondisi normal rata-rata NPL di kisaran 2,5% sampai 3%), melalui ST akan dihitung seberapa kerugiannya bagi bank yang menyusun ST. Lalu disusun pula bagaimana strategi bank dalam mengatasi kondisi tersebut. 

Bila misalnya terjadi krisis likuiditas dalam arti bank tidak mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya, seperti ketika ada penabung besar yang ingin mengambil uangnya, apakah bank punya aset yang gampang dicairkan, misalnya dengan menjual obligasi atau surat berharga yang dimiliki bank. 

Alangkah jatuhnya reputasi sebuah bank bila ada penabungnya yang ingin mengambil uangnya sendiri, pihak bank meminta maaf belum bisa memberikan uangnya. Hal ini malah akan menimbulkan rush di mana para nasabah dari berbagai bank berbondong-bondong meminta uangnya dikembalikan. Padahal bukankah uang tersebut banyak yang diputarkan bank sebagai kredit ke dunia usaha? Lalu kalau pengembalian kredit lagi banyak yang macet, terbayang kan bahayanya?

Skenario Paling Ekstrim

ST dibuat dalam beberapa skenario, mulai dari kondisi yang ringan sampai yang paling ekstrim. Contoh kondisi yang ekstrim tersebut dalam ukuran sekarang, misalnya tiba-tiba kurs rupiah melemah sangat tajam menjadi USD 1 dihargai Rp 20.000 (sekarang di kisaran Rp 14.000) dan inflasi melonjak menjadi 10% (sekarang di kisaran 3%).

Nah, sewaktu kurs rupiah belum lama ini sempat menembus Rp 15.000 per 1 dolar AS, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah berkomentar, antara lain ditulis kompas.com (2/10/2018), bahwa perbankan kita cukup kuat dan bisa menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Kemungkinan Sri Mulyani berani mengeluarkan pernyataan seperti itu setelah membahas bersama BI dan OJK antara lain dengan melihat hasil ST yang dibuat oleh bank-bank besar.

Kenyataannya memang seperti itu, saat kurs dolar AS tembus Rp 15.000 perbankan nasional meski tetap menerima dampak negatifnya, tapi tidak sampai goyang. Ceritanya tentu berbeda bila misalnya (mudah-mudahan tidak bakal terjadi), kurs dolar AS sampai ke level Rp 17.500.

Namun dari hasil diskusi dengan beberapa praktisi di dua bank papan atas yang bertugas menyusun ST, entah modelling-nya yang keliru atau memang ada semacam imbauan tersamar dari atasannya agar banknya tampil "cantik", kalaupun kurs rupiah  berdarah-darah sampai Rp 17.500 per 1 dolar AS, hasil ST-nya tidak seburuk yang diduga. Memang laba bank akan menurun tajam, tapi banknya tetap mampu eksis. 

Kalau saja mayoritas bank papan atas, khususnya bank-bank yang tergolong BUKU IV (kriteria BUKU IV adalah bank yang memiliki modal inti minimal Rp 30 triliun) melaporkan ST-nya sebagai "too good to be true", ini menjadi sinyal yang perlu diwaspadai BI karena bisa berakibat pada kegagalan dalam mengidentifikasi kemungkinan munculnya risiko yang bersifat sistemik. Contoh bank BUKU IV adalah BRI, Mandiri, BCA, BNI, CIMB Niaga, dan Panin. 

Pada risiko sistemik, atas musibah yang menimpa  suatu bank, secara cepat akan menjalar ke bank lain, sehingga yang dihantamnya bukan bank yang menjadi asal musibah saja, tapi sistem perbankan secara keseluruhan. Risiko ini melekat pada bank-bank berskala besar di mana nasabahnya baik yang menyimpan dana maupun yang menjadi peminjam, amat banyak. Bank-bank besar tersebut juga saling bertransaski dengan bank lainnya, inilah yang menyebabkan penyakit suatu bank besar cepat menular ke bank lain. 

Ingat krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1998? Itulah contoh paling kelam bagaimana risiko sistemik memporakporandakan perekonomian kita. Ketika itu BI masih menyediakan bantuan likuiditas (BLBI) atas bank-bank yang terdampak agar daya tularnya tidak membesar. Tapi sekarang cara tersebut dinilai tidak sehat, malah memicu moral hazard dari para bankir yang ingin "merampok" banknya sendiri. 

Makanya, sesuai regulasi saat ini tidak ada lagi bail-out di mana bank-bank terdampak tidak diberi dana talangan oleh pemerintah untuk memulihkan kondisinya. Sekarang justru bila dari ST-nya ada bank yang diduga bakal bangkrut ketika terjadi krisis moneter, diwajibkan untuk melakukan bail-in, di mana pihak pemegang saham menyetor tambahan modal. 

Risiko sistemik, bagaimanapun caranya memang harus dicegah, karena kalau dibiarkan pada gilirannya akan menggoyahkan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Artinya dari awalnya hanya satu bank yang tidak sehat  pada akhirnya akan berdampak pada sistem perbankan secara keseluruhan. Reputasi perbankan jadi hancur, kepercayaan masyarakat hilang, bahkan juga kepercayaan dari dunia internasional.

BI Jangan Kecolongan

Bagaimana cara mencegah risiko sistemik? Setiap bank secara individu selalu diawasi secara ketat oleh OJK. Namun secara keseluruhan, termasuk keterkaitan bank dengan korporasi dan rumah tangga, dipantau pula terus menerus oleh BI demi terpeliharanya SSK. Jelaslah, kuncinya ada pada kualitas pengawasan.

Agar BI tidak kecolongan, sebaiknya BI (tentu juga OJK) tidak terlalu percaya dengan ST yang dilaporkan masing-masing bank. Soalnya, ST yang disusun bank tentu saja dimulai dengan dasar kondisi kinerja saat ini. Itulah yang diproyeksikan akan seperti apa nantinya jika terjadi skenario tertentu. 

Masalahnya, justru "rapor" bank saat ini perlu dikritisi, sekalipun laporan keuangannya diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang termasuk kelas atas karena berafiliasi dengan  KAP big four secara internasional. Baru-baru ini terkuak kasus di Garuda Indonesia yang pada laporan keuangannya tahun 2018 setelah diaudit tercatat memperoleh laba, tapi dua orang komisarisnya tidak mau tanda tangan karena menilai Garuda seharusnya masih merugi.

Sebelumnya ada seorang akuntan senior  juga sudah terkena sanksi karena kesalahannya dalam mengaudit SNP Finance. Sang akuntan menilai kondisi keuangan SNP Finance baik-baik saja sehingga beberapa bank berani mengucurkan kredit ke perusahaan yang masih bagian dari jaringan toko Columbia yang menyediakan pembelian barang secara kredit. Belakangan SNP Finance mengalami kebangkrutan dan bank-bank yang telah memberikan kredit pun menderita kerugian besar.

Patut diwaspadai, siapa tahu kecenderungan memasang angka laba yang overstated juga terjadi di bank-bank, terutama bank-bank milik negara, mungkin dengan maksud agar mendapat penilaian yang bagus dari Kementerian BUMN. Laba yang overstated adakalanya dilakukan dengan mengurangi pencadangan yang harus dilakukan bank sebagai bumper bila terjadi kenaikan NPL.

Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa keberhasilan BI dalam memelihara SSK bermula dari keakuratan dalam mengidentikasi sumber risiko sistemik. Ini bisa terwujud bila BI mampu mencermati dan tidak percaya begitu saja dengan ST yang dibuat bank.

ST tetap diperlukan, tapi perlu digali, bahkan mungkin direvisi bila BI punya data lain sebagai pembanding. Data lain tersebut bisa didapat apabila BI, OJK, LPS, BPK, PPATK, dan instansi terkait lainnya sering ke lapangan dan saling berkoordinasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun