Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Kepedihan Palestina Lebih Menyayat Lewat Novel

3 Juni 2019   13:30 Diperbarui: 3 Juni 2019   17:10 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa posisi Indonesia sejak dulu sampai sekarang amat jelas dalam menyikapi isu Palestina, yakni mendukung sepenuhnya terwujudnya negara Palestina merdeka di tanahnya sendiri. Sikap tersebut tidak saja diperlihatkan oleh pemerintah, tapi juga melalui berbagai aksi yang digalang secara swadaya masyarakat. Ada rumah sakit Indonesia di Gaza, Palestina, yang banyak memberikan bantuan kemanusiaan.

Namun demikian faktanya secara politik perjuangan rakyat Palestina masih banyak menemui rintangan, bahkan Israel dengan sokongan Amerika Serikat semakin berulah dengan rencana menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota negara  Israel.

Padahal di kota suci itu berdiri Masjidil Aqsa yang sangat besejarah karena menjadi kiblat pertama ummat Islam dan juga tempat yang tercatat dalam peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Besar Muhammad s.a.w.

Selain itu aksi kekejaman tentara Israel terhadap rakyat sipil Palestina seakan tidak pernah berhenti. Hanya saja begitu seringnya berita tentang aksi tersebut membuat kita di Indonesia tidak lagi antusias mengetahuinya. Bahkan banyak juga yang membiarkan berita seputar konflik Israel-Palestina berlalu begitu saja.

Nah, bagi yang mulai kehilangan sensitivitas dalam mengikuti berita penderitaan rakyat Palestina, cobalah membaca Palestina lewat novel. Cara seperti ini akan terasa berbeda dan demikian menyayat hati serta dijamin akan menemukan fakta (meskipun novel itu sendiri bersifat fiksi) lain yang lebih pedih ketimbang yang diberitakan media massa.

Susan Abdulhawa, yang lahir pada tahun 1967 dari keluarga pengungsi Palestina yang kini bermukim di Amerika Serikat, telah melahirkan beberapa novel best seller tentang Palestina. Salah satunya, melalui novelnya yang berjudul The Blue Between Sky and Water, Susan kembali menyadarkan dunia pada kisah-kisah keseharian rakyat Palestina yang selama ini terabaikan. 

dok. goodreads.com
dok. goodreads.com

Novel ini pertama kali terbit di New York, AS, pada tahun 2015, dan edisi terjemahannya dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Penerbit Qanita, Juli 2016.

Adalah penderitaan keluarga Nazmiyeh di Beit Daras, desa kecil di Palestina, yang digambarkan di novel ini, sejak Israel menyerbu di tahun 1948 yang memaksa semua penduduk desa tersebut meninggalkan ranah leluhur mereka dan tinggal di arena pengungsian yang akhirnya bersifat permanen di Gaza.

Nazmiyeh bertahan di Gaza, berumahtangga dengan suami seorang nelayan, melahirkan 13 anak semuanya lelaki kecuali anak terakhir seorang perempuan.

Mereka hidup secara amat sederhana karena keterbatasan daerah operasi melaut suami dan anak-anak lelakinya yang diawasi secara ketat oleh tentara Israel. Cucu lelaki Nazmiyeh pun beserta beberapa temannya mencoba mencari penghasilan dengan menjadi pembawa barang melalui jalur terowongan bawah tanah yang tembus ke Mesir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun