Sabtu malam (6/4/2019), saya memenuhi undangan resepsi pernikahan yang kebetulan diadakan di Gedung Sampoerna Strategic Square, Jalan Sudirman, Jakarta.
Agak unik acaranya karena kedua penganten tidak berdiri di pelaminan menerima ucapan selamat dari para undangan, tapi mereka berkeliling menyalami hadirin yang menyebar di depan gubuk-gubuk tempat disediakan berbagai jenis makanan.
Pas pulangnya, waktu mau membayar ongkos parkir mobil, saya kelabakan karena di sana hanya menerima pembayaran memakai kartu uang elektronik.
Saya buka dompet dan mengambil kartu saya yang diterbitkan sebuah bank milik negara yang selama ini sering saya pakai kalau membayar ongkos jalan tol.
Eh gak taunya si mbak penjaga pintu parkir menolak karena hanya menerima kartu yang diterbitkan sebuah bank swasta papan atas. Untung saja ada teman yang ikut dengan saya yang punya kartu dimaksud.Â
Tapi saya jadi gak nyaman juga karena dua minggu sebelumnya saat saya ada keperluan ke gedung kantor pusat sebuah bank, juga menerapkan pembayaran dengan kartu yang diterbitkan bank tersebut.Â
Lagi-lagi saat itu saya diselamatkan oleh teman yang saya bawa yang kebetulan baru pensiun di kantor yang saya datangi itu. Ia punya kartu yang diminta petugas.
Tampaknya ada kecendrungan di Jakarta kalau pengelola parkir di gedung-gedung yang dimiliki oleh bank tertentu atau yang punya hubungan bisnis dengan bank tertentu, secara eksklusif hanya menerima kartu bank tersebut saja.
Maka bila seseorang bepergian ke sebuah gedung yang jarang dikunjunginya dengan membawa kendaraan pribadi, sebaiknya mencari informasi dulu, di tempat parkirnya memakai kartu apa? Syukur-syukur masih menerima uang tunai karena bagi orang jadul seperti saya, merasa lebih nyaman membawa uang tunai.Â
Toh kalau hanya untuk parkir, uang yang mesti disiapkan relatif kecil, meski sebetulnya banyak juga terdengar keluhan yang menilai biaya parkir Rp 5.000 per jam tergolong mahal. Tapi maksud saya uang yang dibawa tidak tebal memenuhi dompet.Â
Lain halnya kalau berbelanja dengan pembayaran sampai ratusan ribu rupiah atau bahkan lebih, saya mulai terbiasa memakai kartu, karena merasa tidak praktis membawa uang tunai sebanyak itu.
Nah, kalau ada yang malas mencari info tentang kartu yang dipakai oleh sebuah gedung parkir, maka mau tak mau harus membawa paling tidak lima kartu, karena ada lima bank yang menjadi pemain utama e-money, yakni Mandiri, BRI, BNI, BCA dan bank DKI.Â
Alangkah lebih baik bila gedung parkir menerapkan aturan seperti di jalan tol, MRT, atau di bus Transjakarta, yang bisa menerima salah satu dari 5 kartu di atas. Memasyarakatkan gerakan pembayaran non tunai, baik-baik saja adanya, bahkan sudah tidak mungkin dihindari, karena begitulah kehendak zaman.Â
Namun bila berlaku secara eksklusif untuk kartu yang diterbitkan bank tertentu saja, perlu didalami, apakah hal itu melanggar praktik bisnis yang sehat? Mungkin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang perlu mendalaminya dan meluruskan kembali bila itu salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H