Saya baru memakai kacamata pada usia 36 tahun, sedangkan istri saya pada usia yang lebih tua lagi, sekitar 40 tahun. Tapi tiga anak kami sudah harus memakai kacamata, masing-masingnya sejak umur 11 tahun, 9 tahun dan 8 tahun.
Jujur, saya dan istri sebetulnya sedih menghadapi kenyataan seperti itu, padahal merasa sudah mengawasi anak-anak untuk mengikuti teori yang kami yakini benar agar mata tetap sehat.Â
Contohnya tidak membaca terlalu dekat, tidak membaca sambil tiduran, membaca di tempat yang terang, menonton televisi dari jarak  yang agak jauh, membatasi bermain game (waktu zamannya anak-anak saya masih kecil, mereka kecanduan main Play Station), dan kemudian membatasi memakai telpon genggam.
Istri saya juga cukup rajin memberikan buah-buahan yang berkhasiat untuk mata, seperti wortel. Namun kenyataannya tak terhindarkan, semua anak saya membutuhkan kacamata. Jelas bahwa saya tergolong gagal dalam hal ini.Â
Meskipun untuk menghibur diri saya berkata dalam hati, anak saya tidak sendiri. Teman-teman sekolahnya juga banyak yang begitu. Jauh berbeda dengan zaman saya sekolah dulu. Dari seratus murid, hanya satu dua saja yang berkacamata.
Tapi saya lebih miris lagi melihat beberapa keponakan saya yang pada usia balita juga terpaksa berkacamata. Soalnya saat mereka lahir sudah zamannya smartphone.Â
Tak heran, ada anak yang berumur dua tahun sudah kecanduan main hape meskipun oleh orang tuanya dipilihkan menonton lagu anak-anak. Namun tetap saja pancaran sinar dari hape berpotensi membuat mata si anak tidak sehat.
Saya kawatir, si anak yang masih berumur 2 tahun itu, tak lama lagi akan mengikuti jejak kakaknya yang sudah berkacamata. Soalnya kedua orang tuanya yang bekerja di kantoran tidak sempat mengawasi dengan baik.Â
Lalu si anak ditinggal bersama neneknya yang juga kecanduan menikmati video ceramah uztad kesayangannya dari smartphone-nya. Inilah yang membuat si cucu mulai terpapar kecanduan hape yang kalau tidak diberi kesempatan oleh neneknya akan meraung-raung.
Akhirnya menurut saya tidak ada cara yang lebih baik, para orang tua harus memberi contoh dengan membatasi diri sendiri dalam memakai hape. jangan sampai semua anggota keluarga duduk di ruang keluarga berdekatan secara fisik, tapi masing-masing sibuk chatting dengan temannya di tempat lain atau sibuk berselancar di dunia maya.
Jangan pernah menyerah dalam mengawasi anak-anak kita. Bila ketika masih anak-anak sudah tak terawasi, saat remaja tentu semakin menjadi-jadi.
Tapi pengawasan tidak akan efektif bila yang mengawasi bertindak munafik dalam arti sering melakukan apa yang dilarangnya pada orang lain.
Betapa kita sering lupa bersyukur bahwa kenikmatan punya mata yang sehat sangat tidak ternilai harganya. Kita baru tersadar kalau tiba-tiba fungsi penghilatan kita terganggu.
Tapi menasehati anak dengan menceramahinya tentang perlunya memelihara mata yang sehat, sering hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.Â
Kalau begitu perlu ketegasan yang mengikat semua angota keluarga, misalnya dengan membuat peraturan hanya boleh menggunakan hape pada jam tertentu saja. Orang tua sendiri yang punya kekuasaan harus konsekuen tidak melangar aturan.Â
Lalu di hari libur bersama-sama bermain di luar agar anak memahami cara bersosialisasi dengan orang lain.Â
Mata adalah jendela dunia yang harus senantiasa dirawat sebaik mungkin. Secara rutin berkonsultasi ke dokter mata, misal sekali setahun, perlu dilakukan untuk pencegahan atau deteksi awal bila ternyata ada kelainan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H