Setelah pimpinan parpol, terakhir menimpa Ketua Umum PPP Romahurmuziy dan anggota DPR dari Partai Golkar, ternyata ada juga direktur di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Itulah yang terjadi baru-baru ini yang menimpa salah seorang direktur PT Krakatau Steel. Demikian juga PT Pupuk Indonesia meskipun belakangan ada bantahan bahwa tidak ada direksi Pupuk Indonesia yang terjerat OTT KPK. Baik Krakatau Steel maupun Pupuk Indonesia, berstatus BUMN.Â
Tumben, padahal gaji, tunjangan dan berbagai fasilitas yang diterima seorang direktur BUMN mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Dan ada yang bikin iri para pejabat pemerintah atau anggota parlemen, yakni pembagian bonus tahunan yang disebut sebagai tantiem, yang dihitung berdasarkan persentase tertentu dari laba masing-masing BUMN.
Iseng-iseng coba saja buka buku laporan tahunan dari beberapa BUMN yang bisa dilacak dari website-nya. Pada laporan ikhtisar beban tenaga kerja, lazimnya ada uraian tentang total remunerasi buat direksi dan komisaris BUMN tersebut.
Dari laporan dimaksud bisa diperkirakan bahwa seorang direktur bisa menerima tantiem belasan miliar rupiah setiap tahun. Ya, angka ini untuk BUMN berkategori kakap, seperti bank-bank milik negara, Telkom, dan sebagainya. Pertamina juga besar, tapi sayang belum go public, sehingga publikasi atas laporan keuangannya tidak segampang BUMN yang sudah berstatus terbuka (Tbk.).
Namun untuk BUMN yang tidak termasuk kakap pun, tantiemnya diperkirakan tetap menyentuh sepuluh digit. Atau anggaplah ada BUMN yang lagi bermasalah seperti Jiwasraya yang kesulitan likuiditas sehingga kewajibannya pada nasabah belum bisa dibayarkan tepat waktu, gaji bagi para eksekutifnya tetap besar, meskipun tantiemnya kecil dibanding BUMN lain.
Namun bila ada pejabat pemerintah yang iri dengan penghasilan direktur BUMN, kurang tepat juga, dalam arti tidak apple to apple bila diperbandingkan. Direktur BUMN memang tergolong pejabat negara, makanya menjadi target operasi KPK. Tapi mereka bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti pejabat di kementerian atau lembaga pemerintah.
Pejabat pemerintah menerima penghasilan yang bersumber dari anggaran negara, baik APBN atau APBD. Sedangkan BUMN masing-masingnya mandiri dengan menggaji pejabat dan karyawannya dari pendapatan perusahaan. Justru setiap BUMN menyetorkan dana pada APBN melalui dividen atau bagian laba yang didistribusikan kepada pemegang sahamnya, dalam hal ini negara sebagai pemegang saham BUMN.
Jadi, apakah penghasilan pejabat BUMN ketinggian atau tidak, sebaiknya dibandingkan dengan peers-nya atau industri sejenis yang menjadi pesaingnya. Sebagai contoh, penghasilan direktur bank-bank milik negara dibandingkan dengan direktur bank-bank swasta papan atas. Begitu pula pada BUMN sektor konstruksi, telekomunikasi, transportasi, dan sebagainya.
Nah, dari pengamatan sekilas, penghasilan di banyak BUMN sudah relatif setara dengan peers. Tak heran, ada beberapa eksekutif dari bank swasta yang akhirnya berkarir di bank pemerintah. Agus Martowardojo adalah salah satu contoh sukses, seorang yang memulai karir di Bank Niaga yang berstatus swasta, kemudian menjadi Dirut Bank Mandiri (salah satu BUMN), Menteri Keuangan, dan terakhir sebagai Gubernur Bank Indonesia.
Masalahnya kenapa masih ada yang tergiur untuk korupsi? Menarik untuk menyimak pendapat salah seorang mantan pejabat di Kementerian BUMN, Said Didu, seperti yang diberitakan detik.com (28/3/2019).
Menurut Said Didu, OTT KPK terhadap direksi BUMN merupakan puncak gunung es, karena pengangkatan direksi dan komisaris BUMN tidak lagi berdasarkan kompetensi, tidak prudent, dan tidak berbasis profesionalisme. Orang yang mau jadi direksi dan komisaris mencari lobi dan pasti ada balas jasanya.
Said menambahkan bahwa kini masa jabatan direksi dan komisaris tidak konsisten lima tahun. Mereka bisa diberhentikan kapan saja dengan beragam alasan. Para direksi dan komisaris yang ingin bertahan, lanjutnya, harus 'menyetorkan' sejumlah uang agar jabatannya bertahan lama, yang kemungkinan bisa saja berasal dari hasil korupsi.
Tudingan Said Didu di atas sayangnya tidak menyebutkan kepada siapa setoran tersebut diberikan, sehingga masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Tapi sebagai alarm, pernyataan itu perlu didalami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, karena kasihan juga bila nanti disamaratakan, direktur BUMN yang bersih ikut dicap jelek oleh masyarakat.
Untuk saat ini, terhadap direktur BUMN yang terkena OTT lebih tepat disebut sebagai oknum saja, dan pembahasannya tidak dipolitisir ke agenda pilpres mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H