Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bias Gender pada Fasilitas Toilet di Ruang Publik

20 Maret 2019   16:47 Diperbarui: 20 Maret 2019   16:55 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya relatif sering jalan-jalan di Jakarta dan sekitarnya bersama istri. Biasanya hal itu saya lakukan di hari Sabtu, Minggu, atau hari libur nasional. 

Tentu saja saat lagi di jalan, di kawasan pertamanan, atau di mal, bila lagi perlu "ke belakang", kami harus berpisah. Saya masuk toilet pria dan istri masuk toilet wanita.

Nah, biasanya saya lebih duluan selesai dalam menuntaskan urusan biologis itu. Saya harus menunggu 5 sampai 10 menit baru bisa menggandeng istri lagi.

Bila saya agak kesal, saya akan bertanya kok lama banget? Istri saya biasanya menjawab bahwa di toilet cewek, harus antrian dulu.

Tapi kondisi yang lebih parah yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri, adalah pada Sabtu yang lalu (16/3/2019) di sebuah mal di Jakarta Selatan.

Ketika itu kami mau menunaikan salat magrib di musala yang ada di lantai 3 mal tersebut. Namun begitu mau masuk lorong ke arah musala, ada antrian yang mengular panjang di sisi kiri. Artinya itu yang menuju musala wanita, karena yang di sisi kanan adalah musala untuk pria.

Saya tidak tahu seberapa luas musala wanita, namun yang pasti untuk pria lumayan luas, saya taksir bisa menampung sekitar 80 sampai 100 orang. Tidak banyak mal yang punya musala seluas itu.

Waktu magrib relatif pendek, hanya sekitar satu jam, makanya tak heran banyak yang terburu-buru. Sedangkan di waktu salat selain magrib, pemandangan seperti itu tidak terlihat, karena waktu salat yang lebih longgar, meskipun lebih afdhol bila dilakukan di awal waktu. 

Kembali ke urusan toilet, dari pengalaman istri saya di beberapa tempat, jumlah yang bisa dipakai secara paralel di toilet wanita, tampaknya lebih sedikit ketimbang toilet pria. 

Sudah begitu, proses pemakaian toilet oleh seorang wanita tentu lebih lama karena pakaiannya lebih ribet. Sedangkan pria bisa melakukannya sambil berdiri.

Makanya, mengingat perbandingan jumlah wanita dan pria yang menggunakan ruang publik relatif berimbang, seharusnya dalam merancang pembangunan toilet dan musala, jumlahnya juga harus seimbang.

Apakah ketimpangan ini dilakukan tanpa sengaja, karena yang merancang suatu bangunan atau pemilik gedung yang memesan rancangan ke biro jasa arsitek, dikuasai oleh laki-laki? 

Atau memang sengaja dengan alasan efisiensi? Dan  yang dipotong adalah pengeluaran buat fasilitas wanita. Kalau begitu, pantas disebut bias gender.

Parahnya lagi, bila ada acara ramai-ramai di ruang terbuka yang memasang toilet berjalan atau yang bisa dibongkar pasang, jatah wanita biasanya sangat minim.

Sebetulnya dalam jumlah yang seimbang pun masih kurang. Idealnya bagian untuk wanita lebih luas atau lebih banyak fasilitasnya, mengingat proses wanita dalam buang air kecil atau dalam melaksanakan salat, butuh waktu lebih lama karena pakaiannya yang berbeda itu tadi.

Jangan sampai banyak dari kaum wanita yang akhirnya menahan hasrat untuk buang air gara-gara malas antre. Istri saya pernah begitu tapi saya tegur karena kawatir jadi penyakit.

dok. liputan6.com
dok. liputan6.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun