Inilah film nasional yang demikian laris manis, Dilan 1991, lanjutan dari Dilan 1990. Sekadar info, Dilan 1990 adalah film Indonesia terlaris tahun 2018 dengan jumlah penonton sekitar 6,3 juta orang dan masa putar sekitar satu setengah bulan. Â Tapi yang sekarang, diprediksi jauh lebih laris ketimbang yang sebelumnya.
Saya sempat kurang percaya diri saat menggandeng istri, kami berdua sudah berusia kepala lima, memesan tiket Dilan di tempat penjualan tiket di bioskop yang terletak dalam sebuah mal di Jakarta Selatan, Sabtu (16/3) kemarin.
Saya hanya takut mbak-mbak cantik petugas tiket menilai saya salah pilih film, kan Dilan film untuk para remaja, katakanlah mereka yang duduk di bangku sekolah menengah, atau yang masih kuliah.Â
Kalaupun banyak penonton yang sudah sedikit berumur, tentu yang usianya masih 40-an tahun yang mengalami masa remaja di dekade 90-an seperti kisahnya Dilan. Padahal saya remaja yang dibesarkan novel seperti Arjuna Mencari Cinta, Ali Topan, atau film serial Catatan Si Boy.Â
Atau sedikit mundur, waktu saya masih belum akil baligh, saya sudah mencuri-curi membaca novel percintaan yang populer awal 1970-an, seperti Kugapai Cintamu dan Cintaku di Kampus Biru, yang akhirnya juga diangkat ke layar lebar.
Tapi syukurlah begitu masuk bioskop, ada beberapa penonton yang usianya lebih tua dari kami. Bahkan ada ibu-ibu yang berjalan pakai tongkat didampingi anaknya yang juga sudah dewasa.
Makanya saya tidak kaget kenapa Dilan demikian laris. Bayangkan, saya yang menonton ketika film ini sudah memasuki minggu keempat, memesan tiket dua jam sebelum film diputar, masih mendapatkan kursi di baris kedua dari depan, karena barisan belakangnya sudah terisi.
Analisis saya begini, banyak orang tua yang setelah mengetahui Dilan 1990 adalah film terlaris tahun lalu, padahal belum sempat menonton, ketika tahu lagi diputar Dilan 1991, tidak ingin ketinggalan kereta lagi.Â
Maka jadilah bioskop penuh dengan segala umur. Untunglah sutradara film ini cukup "sopan" sehingga orang tua tidak sungkan menonton di dekat para remaja, karena tidak ada adegan yang mengarah ke pornografi. Bahkan sekadar adegan ciuman antar kekasih yang di film lain sudah lazim, di Dilan 1991, hanya ada sekadar nyaris berciuman.
Namun, lelaki idaman di segala era, ternyata rumusannya sama, baik di era Ali Topan, Si Boy, sampai Dilan. Orangnya selain ganteng, sedikit nakal, sebetulnya pintar di sekolah tapi karena mementingkan pergaulan, prestasinya kalah sama anak yang kutu buku, tapi istimewanya tetap anak yang tidak menyepelekan agama.
Pada Si Boy, berkali-kali ada adegan ia lagi salat. Kalau Dilan, ucapan "assamualaikum"-nya begitu fasih, setiap ketemu orang tuanya atau orang tua Milea, kekasihnya.
Nah, rumusan yang seperti itu tetap punya daya pikat bagi penonton. O ya, kontroversi seputar penamaan Taman Dilan di Bandung, karena ada pihak yang menilai Dilan bukanlah remaja yang pantas jadi panutan, antara lain karena jago berkelahi dan pemimpin geng motor, justru menjadi promosi gratis bagi film ini.
Selain itu harus diakui, promosi dari film Dilan (tentu yang bukan bersifat promosi gratis), memang cespleng. Berbagai event sebelum film diputar atau saat launching dengan liputan media yang luas, juga menjadi faktor penentu kesuksesan film ini.
Semoga saja film-film nasional semakin mendapat tempat, paling tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H