Sebagai warga negara yang baik, bila anda sudah punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tentu anda sudah tahu bahwa pada akhir Maret merupakan batas akhir waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi. Untuk wajib pajak berupa institusi atau perusahaan, batas waktunya adalah akhir April.
Artinya untuk SPT 2018 masih tersisa waktu sekitar 2 minggu lagi buat mengisi formulirnya, menghitung lagi bila masih ada kewajiban pajak yang belum dibayar sekaligus membayarnya ke bank penerima setoran pajak, lalu melaporkannya ke Kantor Pelayanan Pajak di daerah tempat anda tinggal sesuai KTP.
Pihak Kementerian Keuangan sendiri sudah menghimbau masyarakat untuk lebih cepat melaporkan SPT agar tidak bertumpuk di hari terakhir, baik untuk pelaporan yang masih memakai cara konvensional (mengisi formulir berupa kertas), atau yang sudah secara elektronik (online).
Bagi wajib pajak yang berstatus sebagai karyawan dari sebuah perusahaan yang sudah tertib dalam memungut dan menyetorkan pajak atas penghasilan karyawannya, biasanya kepada setiap karyawan sudah didistribusikan semacam rekapitulasi bukti potong Pajak Penghasilan Pasal 21 (pasal yang mengatur pajak atas gaji karyawan) atas nama masing-masing karyawan.
Atas dasar bukti potong tersebut, si karyawan bisa langsung memindahkannya ke formulir SPT Tahunan yang sifatnya nihil (disebut juga SPT Nihil), dalam arti si karyawan tidak punya kewajiban pajak yang harus dibayar (karena sudah dibayarkan perusahaan), lalu dilaporkan ke kantor pajak.
Jadi keliru bila menganggap bahwa karena semuanya telah diurus kantor dan semua kewajiban pajaknya telah dibayarkan kantor, maka si karyawan tidak perlu mengisi dan melaporkan SPT.
Nah, masalahnya bila si karyawan di samping dapat gaji dari kantor, namun juga punya sumber penghasilan lain, besar kemungkinan akan terdapat kekurangan pembayaran pajak, kecuali penghasilan tambahannya sudah bersifat "final".
Contoh yang bersifat final adalah bila karyawan tersebut secara pribadi punya deposito atau tabungan yang atas bunga yang diterimanya telah langsung dipotong pajaknya oleh bank dan secara ketentuan perpajakan termasuk obyek pajak yang bersifat final. Demikian pula atas kepemilikan obligasi dan saham yang diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), transaksinya sudah dipotong pajak final.
Tapi kalau misalnya si karyawan juga menyambil bekerja di tempat lain yang juga menerima gaji atau honor, sehingga ia punya dua atau lebih rekapitulasi bukti potong pajak atas gajinya, maka sewaktu digabung saat mengisi SPT tahunan, akan timbul kekuarangan pembayaran pajak.
Biasanya ini terjadi pada para pejabat di sebuah instansi yang juga merangkap menjadi komisaris sebuah perusahaan atau merangkap menjadi pengajar di sebuah universitas.

Misalkan seseorang punya penghasilan neto (bersih) dari gaji dan bonus selama 1 tahun sebesar 300 juta. Maka pajaknya adalah 5% dari Rp 50 juta, ditambah 15% dari Rp 200 juta (berasal dari Rp 250 juta kurang Rp 50 juta), ditambah lagi 25% dari Rp 50 juta (berasal dari Rp 300 juta kurang Rp 250 juta). Hasilnya adalah Rp 45 juta. Ini semua tentu sudah dibayarkan oleh perusahaan tempatnya bekerja.
Namun, bila ia bekerja lagi di tempat lain, biar gampang katakanlah dapat penghasilan neto setahun juga Rp 300 juta, maka oleh perusahaan lain tersebut tentu secara sistem telah pula dipotong Rp 45 juta, karena sistemnya berasumsi, si karyawan hanya bekerja untuk perusahaan itu saja.
Padahal, begitu kedua buah rekapitulasi bukti potong pajak ini digabung saat mengisi SPT, tentu jumlah penghasilan si karyawan dari dua perusahaan menjadi Rp 600 juta. Maka pajaknya harusnya sebesar 5% dari Rp 50 juta ditambah 15% dari Rp 200 juta, ditambah lagi 25% dari Rp 250 juta dan ditambah dari lapisan terakhir 30% dari Rp 100 juta (berasal dari Rp 600 juta kurang Rp 500 juta).Â
Hasil dari perhitungan pajak yang betul adalah Rp 125 juta. Yang sudah dibayarkan oleh kedua perusahaan tempatnya bekerja, baru Rp 90 juta (2 kali Rp 45 juta). Alhasil si karyawan harus membayar dulu kekurangannya sebesar Rp 35 juta, baru kemudian menyampaikan SPT Tahunan ke kantor pajak.
Kelihatannya ribet ya? Sebetulnya kalau kita menyediakan waktu beberapa jam, pasti kelar. Tentu dengan catatan kita care dengan catatan keuangan kita sendiri, paling tidak sudah punya bukti potong pajak dari perusahaan tempat bekerja dan mengetahui saldo tabungan atau deposito atau aset lainnya pada posisi akhir tahun. Untuk SPT 2018 maksudnya posisi 31 Desember 2018.
Soalnya, pada laporan SPT terdapat lampiran yang berisikan daftar harta yang dimiliki oleh wajib pajak pelapor. Ini bisa berfungsi sebagai crosscheck dengan jumlah penghasilannya. Kembali ke contoh di atas, bila penghasilan seseorang Rp 600 juta setahun, katakanlah untuk biaya hidup menghabiskan Rp 250 juta, tentu akan terdapat kenaikan harta Rp 350 juta, mungkin berupa kenaikan saldo tabungan.
Oke, anggaplah mengisi SPT memang ribet, tapi ini hanya saat pertama kali melakukannya. Untuk tahun-tahun berikutnya, karena sudah punya data tahun sebelumnya, prosesnya jauh lebih mudah.
Toh, selain untuk memenuhi kewajiban kepada negara, sebetulnya mengisi dan melaporkan SPT punya manfaat secara pribadi, yakni seperti yang telah ditulis di atas, seseorang akan lebih peduli dengan catatan keuangan miliknya sendiri dan bisa membuat perencanaan keuangan yang lebih baik untuk kesejahteraannya di masa depan.
Tulisan ini lebih terfokus pada pajak pribadi bagi orang kantoran. Adapun untuk mereka yang berwirausaha tentu data yang diperlukan dan teknis pengisiannya berbeda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI