Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Prakiraan Cuaca, Pedulikah Kita?

10 Maret 2019   15:38 Diperbarui: 10 Maret 2019   18:11 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(jabar.tribunnews.com)

Dulu namanya "Ramalan Cuaca", sebuah acara pendek yang rutin ditampilkan berbagai stasiun televisi. Ketika TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi yang beroperasi, acara ini menempel dengan siaran berita.

Mungkin istilah "ramalan" berkonotasi tidak ilmiah. Namanya kemudian menjadi "Prakiraan Cuaca", yang bersumber dari lembaga yang memang bertugas untuk memprediksi cuaca yang akan terjadi di berbagai kota di tanah air berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimiliki para personelnya.

Masalahnya, amat jarang masyarakat yang sengaja mencari informasi tentang prakiraan cuaca sebelum beraktivitas di luar rumah. Biasanya orang-orang hanya menengadah ke langit, bila terlihat cerah, ya berarti aman.

Padahal, tidak selalu demikian. Betapa seringnya tiba-tiba awan gelap bermunculan dan tanpa bisa dihadang terjadilah hujan lebat. Bagi pengendara motor, mereka langsung menepi di pinggir pohon atau berlindung di bawah jembatan layang. 

Saya pernah beberapa kali ikut pelatihan, dikirim kantor tempat saya bekerja, ke luar negeri. Di sana ternyata rata-rata warga setempat rutin memeperhatikan prakiraan cuaca dan suhu udara sebelum beraktivitas. Ini juga menyangkut dengan jenis pakaian yang akan mereka gunakan.

Sayang, kita yang tinggal di kawasan tropis ini mungkin tidak merasa perlu mencari informasi tentang cuaca. Akibatnya sewaktu-waktu terjadi hujan deras yang bahkan berlanjut menjadi banjir, banyak warga yang tidak siap.

Tak heran bila selalu saja ada korban saat banjir besar melanda suatu tempat. Korban dimaksud tidak selalu berarti korban nyawa, tapi juga korban yang terkurung di suatu tempat dan harus dievakuasi menggunakan sarana perahu karet kalau tim penanggulangan bencana datang ke lokasi banjir.

Saya sendiri karena masa kecil saya dihabiskan di Payakumbuh, Sumatera Barat, tidak punya pengalaman dengan banjir. Baru kemudian saat menuntut ilmu di Padang, sebuah kota yang tak jauh dari pantai, berkali-kali tempat saya kos terkena banjir sampai sebatas lutut.

Pernah suatu kali di bulan puasa, saat mau berbuka puasa, saya keluar kosan menuju sebuah warung makan. Karena hujan lebat tentu saya memakai payung. 

Namun karena hujan, trotoar yang saya susuri tidak terlihat permukaannya. Tahu-tahu saya kejeblos masuk lubang yang ada di trotoar tersebut. Kaki saya terbenam hingga lutut, dan butuh usaha keras agar saya bisa kembali ke posisi normal.

Setelah menjadi warga Jakarta, beberapa kali saya terperangkap banjir. Pernah saya bertamu ke rumah saudara di Jalan Bangka, Jakarta Selatan di sore hari. Eh gak taunya selagi masih bertamu, hujan bagai dicurahkan dari langit deras sekali dan sampai tengah malam. 

Tuan rumah yang sudah menebak bakal terjadi banjir, terutama setelah jalanan di depan rumahnya tergenang, mulai bergerak mengangkat beberapa barang penting dari lantai bawah ke lantai atas. Saya tak enak hati, tentu ikut membantu.

Tengah malam air sudah masuk rumah setinggi sekitar paha orang dewasa. Saya akhirnya menginap di sana, di lantai atas tentunya, tapi sama sekali tidak tertidur. Air baru surut besok siangnya dan ketika air di rumah sudah tidak ada, saya tembus air di jalan depan rumah dengan sangat hati-hati, takut peristiwa kejeblos di Padang terulang lagi.

Ada juga saudara sepupu saya yang dulu sama-sama merantau karena mendapat pekerjaan di Jakarta. Waktu masing-masing kami mampu membeli rumah, saya memilih menomorsatukan faktor banjir, maksudnya rumah yang saya beli berada di kawasan yang tidak terkena banjir meski saat banjir besar melanda Jakarta tahun 2002.

Sedangkan sepupu saya, dengan alokasi anggaran lebih kurang sama dengan saya mencari rumah yang lebih luas, akhirnya dapat di pinggir kota, bahkan tidak lagi masuk Provinsi DKI Jakarta. 

Benar saja, saat banjir besar kembali melanda Jakarta, rumah sepupu saya tersebut dimasuki air. Ia terpaksa akhirnya merombak pondasi rumah, ditinggikan sekitar 1 meter, baru setelah itu relatif aman meski jalanan di sekitarnya pernah kena banjir juga.

Maka di tengah kondisi intensitas hujan yang meningkat seperti saat ini, rasanya warga yang berdiam di kota-kota ataupun desa yang berpotensi terkena banjir, harus melakukan tindakan antisipasi. Salah satunya dengan rutin mengikuti informasi prakiraan cuaca.

Tak kalah pentingnya secara bersama-sama dengan warga sekitar kita tinggal meneliti berbagai hal, terutama bila ada got atau kali di sekitarnya, atau juga apakah ada tebing yang mungkin kena longsor.

Membicarakan rencana bersama dengan Kepala RT setempat perlu pula dilakukan. Di samping itu, perilaku kita dalam menangani sampah, baik di rumah masing-masing, maupun di lingkungan sekitar, juga menjadi salah satu upaya pencegahan terjadinya banjir, agar saluran pembuangannya lancar.

Tak ada yang berharap terjadi bencana, makanya pencegahan itu teramat penting. Tapi kalaupun bencana itu datang, sebaiknya kita sudah tahu bagaimana meminimalkan risikonya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun