Akibat banyaknya perwira TNI yang belum punya jabatan, telah memunculkan ide untuk melakukan restrukturisasi yang memungkinkan perwira TNI untuk mengabdi di luar dinas kemiliteran, seperti di kementerian atau lembaga negara.
Mungkin kalau langkah itu jadi diterapkan, bisa dianggap sebagai langkah mundur, karena salah satu buah dari reformasi saat menumbangkan rezim Orde Baru adalah mengakhiri praktik dwifungsi ABRI, sehingga tidak ada lagi petinggi militer aktif yang dikaryakan di kementerian, menjadi kepala daerah, menjadi anggota atau pejabat di badan legislatif dan juga yudikatif, pejabat di badan usaha milik negara, dan sebagainya.
Memang seperti apa nantinya restrukturisasi TNI yang akan dilaksanakan, sampai sekarang belum jelas rancangan pastinya. Awalnya yang diberitakan media hanya berupa penambahan 60 jabatan struktural di lingkungan TNI sendiri (tempo.co, 29/1/2019).Â
Kalau hanya berdampak di internal TNI sebetulnya tidak ada pro-kontra, kecuali mungkin akan menambah beban anggaran berupa penambahan tunjangan jabatan dan fasilitas yang merupakan hak seorang pejabat struktural TNI.
Namun kemudian isunya melebar menjadi pemberian kesempatan bagi perwira menengah dan perwira tinggi TNI untuk menduduki berbagai jabatan di kementerian atau lembaga yang membutuhkan (kompas.com, 12/2/2019).
Latar belakangnya adalah sejak berlakunya Undang-Undang (UU) nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, antara lain mengatur masa dinas perwira diperpanjang dari sebelumnya dipensiunkan saat berumur 55 tahun menjadi 58 tahun. Akibatnya sekarang ini ada kelebihan kolonel 500 orang dan perwira tinggi 150 orang yang butuh pemecahan jangka pendek.
Tapi bukankah perpanjangan masa dinas juga berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kementerian dan lembaga? Sangat mungkin di masing-masing instansi juga banyak mereka yang sudah saatnya menduduki jabatan, masih tertahan karena atasannya masih berdinas.
Artinya, bila beberapa jabatan di kementerian dan lembaga diisi oleh perwira TNI, unsur kecemburuan dan penolakan dari pegawai instansi yang dimasukinya, jadi mencuat.
Okelah angap saja itu masalah "kecil" yang gampang diredam bila pejabat baru punya kompetensi dan gaya kepemimpinan yang tepat, tidak bergaya komando ala militer.
Nah, di sinilah masalahnya. Di satu sisi, harus diakui perwira TNI adalah aset bangsa yang sayang kalau tidak didayagunakan secara optimal. Hal ini merupakan hasil dari pendidikan dan pembinaan karir di lingkungan militer yang berjalan relatif baik.
Maka untuk meyakini siapa saja perwira TNI yang cocok banting setir ke jalur sipil, tentu perlu standar pengujian tertentu dan lembaga pengujinya juga harus kredibel. Jadi sama sekali berbeda dengan sistem penunjukan gaya era Orde Baru.