Kehadiran jalan tol yang menghubungkan dua kota terbesar di Indonesia, Jakarta dan Surabaya, sungguh membuat saya tidak sabar ingin menjajalnya. Tol Trans Jawa, itu namanya yang sering dipakai media massa.
Biar praktis, selanjutnya di tulisan ini saya menggunakan TTJ sebagai singkatan dari Tol Trans Jawa. TTJ tentu berkaitan dengan TTDJ (hati-hati di jalan) agar mereka yang melewatinya selamat sampai di tujuan, tapi sama sekali tak berkaitan dengan TTM (teman tapi mesra).
Kesempatan menjajal TTJ terwujud pada hari Jumat (25/1) yang lalu, untuk suatu keperluan keluarga. Kami berangkat bertiga, yakni saya dengan salah seorang putra saya yang masih berstatus mahasiswa di Surabaya, serta seorang teman yang sekaligus didaulat menjadi driver.
Tentu di ruas yang sudah lama digunakan tersebut tak perlu saya ulas lagi, kecuali kemacetan yang luar biasa karena berbagai proyek tengah dibangun termasuk tol layang Jakarta-Cikampek. Butuh sekitar 2 jam untuk sampai di kilometer 40-an, saat mobil baru bisa dipacu secara normal.Â
Karena ketidaktahuan, saya tidak mengisi bahan bakar di Palimanan, karena belum separo dari kapasitas bahan bakar yang telah terkuras. Anggapan saya, tentu sebagaimana lazimnya jalan tol, paling tidak setiap 30 km akan ada rest area yang juga sekaligus menyediakan SPBU.
Ada terbersit harapan ketika saya melihat petunjuk bahwa satu kilometer lagi ada rest area yang dilengkapi dengan tanda terdapatnya SPBU. Namun rupanya masih tahap finishing dan diperkirakan saat libur lebaran baru beroperasi SPBU-nya. Fasilitas restoran, mini market, dan toilet memang sudah dibuka, tapi terlihat belum rapi dan ukurannya jauh lebih kecil ketimbang rest area di tol Cikampek.
Akhirnya ketika tanda di dashboard menunjukkan bahan bakar sudah tinggal seperempat dari total kapasitas, dan setelah mendapat kepastian dari seorang petugas yang lagi menginspeksi jalan tol bahwa belum ada SPBU di jarak puluhan kilometer ke depan, kami mengikuti saran si petugas untuk keluar di Batang, Jawa Tengah.
Ada untungnya kami sempat keluar tol, karena ternyata di jalur Batang-Semarang belum ada tempat istirahat yang memadai, tidak ada masjid buat salat Jumat, hanya punya musala kecil. Saat mendekati Semarang ada sebuah rest area darurat, di mana berderet mobil penyuplai bahan bakar yang diantre oleh banyak sekali pengendara. O rupanya itu yang dimaksud SPBU keliling.
Karena jarak antar rest area relatif jauh, maka antrian di toilet jadi tidak tertib, terlalu banyak yang kebelet yang menahan desakan biologisnya selama lebih dari setengah jam.Â
Bahkan saking banyaknya antrean di toilet wanita, ada ibu-ibu yang nekat masuk toilet laki-laki di tempat yang ada pintu tertutupnya. Toilet pun jadi kotor, karena tidak sempat dibersihkan petugas. Kebetulan saat itu ada beberapa bus berisi rombongan ibu-ibu dari suatu kelompok pengajian di rest area tempat kami berhenti sebentar.
Lagi pula di beberapa titik masih terlihat para pekerja yang tengah sibuk dengan menutup satu lajur sehingga jalan menyempit. Artinya, TTJ memang belum seratus persen siap.Â
Kondisi yang belum siap tersebut juga terlihat dari petunjuk jalan yang masih membingungkan, karena sebagian berasal dari kondisi sebelum TTJ tersambung. Contoh di ruas Semarang-Solo, baru beberapa kilometer sudah ada petunjuk, bagi yang mau ke Surabaya ambil lajur kiri dan yang mau ke Solo silakan di lajur kanan.
Padahal maksudnya itu kalau mau ke Surabaya lewat jalan biasa. Sedangkan yang ingin ke Surabaya lewat tol, justru ambil lajur yang ke Solo karena sudah tersambung dengan Surabaya. Pengendara yang tidak paham, bisa salah membaca petunjuk arah.
Selanjutnya kami masuk ruas tol lama yakni tol lingkar kota Semarang bertarif Rp 5.000, yang berlanjut dengan ruas Semarang-Solo. Inilah yang menurut saya merupakan ruas dengan pemandangan terindah, ada turun naik dan sedikit berliku. Sebelumnya pemandangan sepanjang Palimanan-Semarang relatif monoton khas pantai utara Jawa, kecuali di sekitar KM 380-an, terdapat jembatan yang ikonik.
Kami memilih keluar TTJ di Ngawi agar bisa mencari SPBU. Untuk jarak Semarang-Ngawi kami harus membayar Rp 152.000. Kami sampai di Ngawi pukul 15.18
Untung saja kami tidak melewati TTJ pada malam hari, karena saya melihat sepanjang jalan belum ada lampunya, kecuali di dekat gerbang pembayaran atau di persimpangan. Hanya ada spotlight, pemantul cahaya bila terkena lampu kendaraan yang lewat di sepanjang pembatas jalan.
Kota Surabaya menjelang malam, setelah keluar tol Waru, ternyata macet parah seperti yang lazim di Jakarta. Namun setelah masuk Jalan Ahmad Yani sampai ke rumah tujuan kami di Keputih, dekat kampus ITS, relatif tidak begitu macet.
Tapi saya bersyukur karena cuaca lebih cerah sehingga bisa puas mengambil beberapa foto dari balik kaca mobil. Hal ini tak sempat saya lakukan saat berangkat karena sepanjang jalan cuacanya mendung, bahkan hujan di beberapa tempat.
Kemudian yang agak berbeda, saat menempuh ruas Solo-Semarang, jalannya banyak yang menurun, sehingga di beberapa titik tersedia fasilitas pendakian buatan di sebelah kiri jalan, khusus bagi mobil yang mengalami rem blong.
Setelah itu kami masuk lagi ke TTJ di gerbang Banyumanik, masih di kota Semarang. Sampai di Palimanan jam 15.48 dengan membayar Rp 180.500.
Dengan mengambil jeda sekitar 30 menit di sebuah rest area di ruas Palimanan-Cirebon, perjalanan berlanjut sampai di Cikarang saat bayar tol yang terakhir Rp 117.000 jam 18.07. Tapi biasa, Cikarang sampai Bekasi macetnya gak ketulungan, alhasil sampai di rumah Tebet sekitar jam 8 malam.
Perlu pula dicatat tentang tingkah para pengendara yang tidak mematuhi aturan kecepatan maksimum dan minimum. Akibatnya perlu kehati-hatian saat disalib mobil yang melaju demikian kencang bak di sirkuit balapan, atau tiba-tiba di depan ada truk yang lamban seperti keong. Ketentuan mendahului kendaraan lain harus dari sebelah kanan, banyak yang tidak mematuhi.
Dengan menghabiskan biaya sekitar Rp 600.000 untuk bahan bakar serta sekitar jumlah yang sama buat ongkos tol untuk menempuh jarak Jakarta-Surabaya, bila bepergian 3 orang dan membawa barang lumayan banyak, membawa kendaraan sendiri lewat TTJ, bisa menjadi pilihan.Â
Soalnya tarif pesawat Jakarta-Surabaya saat ini yang termurah sekitar Rp 600.000. Untuk 3 orang sudah memakan Rp 1.800.000. Belum lagi biaya transpor ke dan dari bandara. Jangan lupa, sekarang bagasi yang gratis di maskapai bertarif murah hanya untuk 7 kg. Bila kelebihan, bayarannya mahal.
Dugaan saya karena mahal itulah TTJ boleh dikatakan sepi, kecuali untuk jarak relatif pendek, seperti Jakarta-Cikampek (ini sih gak usah diomongin karena padat banget), Cikampek-Cirebon, Semarang-Solo, dan Mojokerto-Surabaya.Â
Begitulah sekadar catatan spontan setelah menjajal TTJ, dari Jakarta ke Surabaya pulang pergi. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang berencana melakukan hal serupa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H