Transportasi daring merupakan kehendak zaman yang tak mungkin dihindari. Di negara kita saat ini keberadaan taksi dan ojek motor yang beroperasi memakai aplikasi tertentu, sudah menyebar di banyak kota.
Awalnya terjadi penolakan oleh sopir taksi dan pengojek motor konvensional yang pasti merasa lahannya banyak tergerus. Tapi lama-lama mereka harus beradaptasi dan ikut masuk memanfaatkan aplikasi yang ada atau perusahaan yang memayunginya membuat aplikasi sejenis, bila tidak ingin tersisih.
Masalahnya adalah bagaimana agar ada regulasi yang bisa menertibkan transportasi daring tersebut. Sebetulnya khusus untuk taksi daring pemerintah telah membuat aturan yang ketat, antara lain mewajibkan taksi daring memasang stiker khusus di kaca mobil dan harus lulus uji kir sebagaimana kendaraan umum lain.
Namun aturan tersebut mendapat penolakan keras dari para sopir taksi daring. Bahkan mereka berhasil berjuang lewat saluran hukum, di mana Mahkamah Agung membatalkan pasal-pasal dalam Peraturan Menteri  Perhubungan (Permenhub) Nomor 108 tahun 2017, sehingga kewajiban memasang stiker di kaca depan kendaraan dan uji kir tidak berlaku.
Berita terbaru adalah sudah dikeluarkannya revisi atas Permenhub di atas yang saat ini memasuki tahap sosialisasi dan akan berlaku sepenuhnya mulai Mei 2019.
Peraturan yang ditandatangani Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi tanggal 18 Desember 2018 itu, mengakomodir keluhan konsumen agar lebih mengedepankan aspek keselamatan.
Maka nantinya setiap mobil taksi daring harus punya panic button atau tombol yang dipencet bila ada kondisi yang mengkhawatirkan, baik di dekat pengguna jasa maupun dekat pengemudi.
Soalnya dari beberapa kasus yang sudah terjadi, penodongan bisa saja menimpa kedua pihak. Penumpang ditodong pengemudi, dan pengemudi pernah pula dirampok penumpang.
Mudah-mudahan regulasi taksi daring bisa memuaskan semua pihak, mulai dari konsumen, penyedia aplikasi, pengemudi, dan juga pemerintah. Bahkan perusahaan taksi konvensional pun diharap menerima dengan baik regulasi tersebut.
Namun masih ada yang belum tuntas dan justru paling penting karena baik pengemudi maupun pelanggannya sudah demikian banyak, yakni ojek motor daring.
Pemerintah saat ini tengah menggodok regulasi ojek daring tersebut. Kalau nanti terbit, menjadi langkah maju karena sebetulnya ojek motor statusnya sampai saat ini masih "liar", belum diakui sebagai salah satu moda transportasi publik.
Dari berbagai berita di media daring, regulasi untuk ojek motor tersebut telah melalui serangkaian diskusi, antara lain dengan dua penyedia aplikasi terbesar Go-jek dan Grab, perwakilan mitra pengemudi, ahli transportasi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan Yayasan Lembaga Konsumen.
Regulasi tersebut akan mengatur beberapa hal, termasuk yang sering dikeluhkan pengemudi, bahkan beberapa kali mereka melakukan demo besar-besaran, yakni soal tarif minimal dan maksimal serta soal suspend atau  penghentian sementara akun mintra pengemudi.
Kemenhub juga berencana mengatur lokasi jemput antar, karena selama ini terasa begitu sumpeknya beberapa titik penjemputan seperti dekat gerbang stasiun kereta api, gerbang sekolah di jam pulang sekolah dan juga gerbang perkantoran. Puluhan motor menyemut menunggu pemesannya, sehingga sangat tidak tertib.
Semoga saja regulasi ojek motor telah mengakomodir kepentingan semua pihak dan bisa diterapkan dengan baik, tanpa menimbulkan gejolak baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H