Kompasiana 3 Desember 2018 menarik berita dari Kompas.com pada hari yang sama tentang 10 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki utang terbesar. Berita tersebut bernada positif, karena terhadap total utang seluruh BUMN yang mencapai Rp 5.271 triliun hingga kuartal III 2018, tertutupi dari jumlah asetnya yang jauh lebih besar, yakni Rp 7.718 triliun. Maksudnya kalau nanti ada apa-apa dengan utang tersebut, aset yang ada bisa dicairkan buat membayar utang.
Ada baiknya dikutipkan lagi di sini, peringkat BUMN pengutang terbesar, yaitu Bank Rakyat Indonesia dengan utang Rp 1.008 triliun (asetnya  Rp 1.183 triliun), Bank Mandiri dengan utang Rp 997 triliun (asetnya Rp 1.174 triliun), Bank Negara Indonesia dengan utang Rp 660 triliun (asetnya Rp 764 triliun), Perusahaan Listrik Negara Rp 543 triliun (aset Rp 1.386 triliun), Pertamina Rp 522 triliun (aset Rp 923 triliun), Bank Tabungan Negara Rp 249 triliun (aset Rp 272 triliun), Taspen Rp 222 triliun (aset Rp 231 triliun), Waskita Karya Rp 102 triliun (aset Rp 129 triliun), Telkom Rp 99 triliun (aset Rp 205 triliun), dan Pupuk Indonesia Rp 76 triliun (aset Rp 140 triliun).Â
Mungkin ada pembaca yang bertanya, kenapa justru bank yang sering disebut sebagai "gudang uang" kok malah jadi pengutang terbesar? Perhatikan data di atas, 3 peringkat pertama dikuasai oleh bank. Bank Tabungan Negara memang peringkatnya agak di bawah, tapi itu karena size-nya, terutama kalau dilihat dari jumlah kantor cabangnya, jauh lebih kecil dari 3 bank sebelumnya.Â
Satu pertanyaan lagi, kenapa utang bank hampir mendekati jumlah asetnya, sementara perusahaan bukan bank, seperti PLN, Pertamina dan Telkom, utangnya hanya berkisar 40% sampai 60% dari total asetnya.
Nah, hal itulah yang agaknya luput dari pemberitaan, bahwa karakteristik bisnis perbankan amat berbeda dengan bisnis di sektor riil. Manajemen bank pasti tidak happy bila disebut sebagai pengutang terbesar. Benar saja, Kompas.com hari ini (7/12) memberitakan penjelasan Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo, berkaitan dengan hal tersebut.Â
Kartika meminta agar perlu dibedakan antara dana pihak ketiga (DPK) yang merupakan simpanan masyarakat di bank dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito dengan utang secara bilateral. Intinya, bila ditulis kembali secara lebih gamblang, dari triliunan rupiah yang di atas disebut sebagai utang bank, sebahagian besar justru berupa simpanan masyarakat yang dalam istilah perbankan disebut DPK.
Ya, orang bank pastilah keberatan bila terhadap para penabungnya yang sukarela menyimpan uangnya di bank, yang percaya begitu saja tanpa menanyakan apa jaminannya kalau nanti mereka tak bisa menarik simpanannya kembali, disebut sebagai utang.Â
Yang namanya utang tentu ada kontraknya, yang dalam istilah bank disebut akad kredit. Padahal kalau orang menabung di bank, hanya sekadar mengisi formulir pembukaan rekening, tanpa ada pernyataan bank bahwa bank meminjam dari si penabung.
Tapi, di pandang dari sudut mana pun, hakikatnya terhadap DPK tersebut adalah utang bank. Sebut saja utang tanpa akad atau tanpa kontrak. Bukankah simpanan tersebut adalah "titipan" masyarakat yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali oleh yang menitipkan? Boleh toh kalau titipan itu dinamakan utang, agar manajemen bank berhati-hati dalam memutarkan uang titipan tersebut.Â
Secara akuntansi pun, dalam neraca bank, DPK terletak di sisi pasiva pada kelompok "Liabilitas" atau "Kewajiban", sama dengan treatment untuk utang bilateral, hanya berbeda akun saja. Â
Dan, memang, bank yang bagus pasti sangat berhati-hati dalam memutarkan uang DPK itu tadi. Bila ada masyarakat yang ingin meminjam ke bank, bank akan meneliti dulu karakter dan kemampuan si calon peminjam itu agar nantinya tidak menjadi pinjaman macet.Â
Bila suatu bank banyak pinjaman macetnya, bisa saja merembet pada kesulitan bank untuk menyediakan uang bagi pemilik DPK yang berniat mengambil kembali uangnya.Â
Bayangkan bila ada berita bahwa di Bank X banyak sekali kredit macetnya. Bukankah para penabung di Bank X tersebut akan resah, galau apakah uangnya di bank tersebut aman? Misalkan semua penabung serentak mengambil kembali uangnya, tindakan ini disebut dengan rush, maka wassalam sudah, bank itu akan betul-betul collapse, karena uang para penabung itu terbenam oleh peminjam yang macet itu tadi.
Apalagi sekarang Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak lagi mau membantu dengan mem-bail out atau menalangi bank-bank yang di-rush nasabahnya, seperti yang pernah dialami Bank Century. Yang ada sekarang dalam regulasi terbaru, adalah bail in, di mana pemegang saham pengendali dari bank yang terindikasi bermasalah, diminta menyuntikkan modal baru untuk berjaga-jaga bila situasi makin memburuk.
Maka, agar pihak bank senantiasa hati-hati dalam mengelola DPK, tak ada salahnya menganggap DPK itu sebagai utang bank, minimal "utang", alias utang dalam tanda kutip, untuk pengingat bahwa itu hanya titipan masyarakat. Kalau begitu, pertanyaan kenapa utang bank besar, terjawab sudah.
Lalu terhadap pertanyaan kedua, kenapa utang bank hampir mendekati total asetnya? Itu gampang menjawabnya, karena apabila masyarakat percaya sama reputasi sebuah bank, akan semakin banyak mereka menyimpan di bank tersebut dalam bentuk DPK. Akhirnya, secara perbandingan, jumlah DPK jauh melebihi modal bank itu sendiri.
Menurut regulasi perbankan, ada aturan tentang capital adequacy ratio (CAR) atau kewajiban pemenuhan modal minimum bank (KPMM), yang berlaku secara internasional. CAR suatu bank minimal adalah 8% dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR)-nya. Karena menghitung ATMR agak ribet, untuk gampangnya anggap saja dari Rp 100 aset bank, minimal Rp 8 di antaranya berupa modal, dan  Rp 92 dari utang, baik utang bilateral maupun DPK.Â
Jadi kalau utang bank, terutama dari DPK, Â jumlahnya amat banyak dan secara rasio mendekati jumlah asetnya, justru itulah yang bagus, pertanda bank itu mendapat kepercayaan yang sangat besar dari masyarakat. Â
Adapun perusahaan bukan bank, katakanlah Pertamina, jelas tidak boleh menerima simpanan dari masyarakat. Jika butuh dana, Pertamina terpaksa meminjam ke bank atau menjual obligasi (surat utang), yang nanti dibeli bank atau institusi yang punya dana besar seperti asuransi, lembaga pengelola dana pensiun, fund manager dari perusahaan sekuritas, dan sebagainya.
Itupun ada ketentuannya pula, jumlah utang yang sehat bagi sebuah perusahaan di sektor riil seperti Pertamina, berkisar maksimal dua kali modalnya. Ketentuan ini disebut sebagai debt to equity ratio (DER) atau rasio utang terhadap modal. Maka kalau aset sebuah perusahaan Rp 100, maksimal dapat utang adalah Rp 67 dan Rp 33 lagi harus dari modal sendiri.
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H