Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kenapa Bank Punya Utang Besar?

7 Desember 2018   09:46 Diperbarui: 7 Desember 2018   10:24 1367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : detik.com

Bila suatu bank banyak pinjaman macetnya, bisa saja merembet pada kesulitan bank untuk menyediakan uang bagi pemilik DPK yang berniat mengambil kembali uangnya. 

Bayangkan bila ada berita bahwa di Bank X banyak sekali kredit macetnya. Bukankah para penabung di Bank X tersebut akan resah, galau apakah uangnya di bank tersebut aman? Misalkan semua penabung serentak mengambil kembali uangnya, tindakan ini disebut dengan rush, maka wassalam sudah, bank itu akan betul-betul collapse, karena uang para penabung itu terbenam oleh peminjam yang macet itu tadi.

Apalagi sekarang Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak lagi mau membantu dengan mem-bail out atau menalangi bank-bank yang di-rush nasabahnya, seperti yang pernah dialami Bank Century. Yang ada sekarang dalam regulasi terbaru, adalah bail in, di mana pemegang saham pengendali dari bank yang terindikasi bermasalah, diminta menyuntikkan modal baru untuk berjaga-jaga bila situasi makin memburuk.

Maka, agar pihak bank senantiasa hati-hati dalam mengelola DPK, tak ada salahnya menganggap DPK itu sebagai utang bank, minimal "utang", alias utang dalam tanda kutip, untuk pengingat bahwa itu hanya titipan masyarakat. Kalau begitu, pertanyaan kenapa utang bank besar, terjawab sudah.

Lalu terhadap pertanyaan kedua, kenapa utang bank hampir mendekati total asetnya? Itu gampang menjawabnya, karena apabila masyarakat percaya sama reputasi sebuah bank, akan semakin banyak mereka menyimpan di bank tersebut dalam bentuk DPK. Akhirnya, secara perbandingan, jumlah DPK jauh melebihi modal bank itu sendiri.

Menurut regulasi perbankan, ada aturan tentang capital adequacy ratio (CAR) atau kewajiban pemenuhan modal minimum bank (KPMM), yang berlaku secara internasional. CAR suatu bank minimal adalah 8% dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR)-nya. Karena menghitung ATMR agak ribet, untuk gampangnya anggap saja dari Rp 100 aset bank, minimal Rp 8 di antaranya berupa modal, dan  Rp 92 dari utang, baik utang bilateral maupun DPK. 

Jadi kalau utang bank, terutama dari DPK,  jumlahnya amat banyak dan secara rasio mendekati jumlah asetnya, justru itulah yang bagus, pertanda bank itu mendapat kepercayaan yang sangat besar dari masyarakat.  

Adapun perusahaan bukan bank, katakanlah Pertamina, jelas tidak boleh menerima simpanan dari masyarakat. Jika butuh dana, Pertamina terpaksa meminjam ke bank atau menjual obligasi (surat utang), yang nanti dibeli bank atau institusi yang punya dana besar seperti asuransi, lembaga pengelola dana pensiun, fund manager dari perusahaan sekuritas, dan sebagainya.

Itupun ada ketentuannya pula, jumlah utang yang sehat bagi sebuah perusahaan di sektor riil seperti Pertamina, berkisar maksimal dua kali modalnya. Ketentuan ini disebut sebagai debt to equity ratio (DER) atau rasio utang terhadap modal. Maka kalau aset sebuah perusahaan Rp 100, maksimal dapat utang adalah Rp 67 dan Rp 33 lagi harus dari modal sendiri.

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun