Direktur Utama Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja memohon kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar ada pelonggaran terkait ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK) oleh suatu bank. Kelonggaran ini dikhususkan bagi bank yang banyak menyalurkan kredit infrastruktur seperti BCA (cnbcindonesia.com, 3/12/2018).
Pembangunan infrastruktur di negara kita saat ini memang sedang digenjot, dan tentu saja membutuhkan pendanaan dalam jumlah yang amat besar yang sebagian dibiayai dari kredit perbankan.
Di pihak lain, ada aturan BMPK yang tak boleh dilanggar bank sebagai cerminan dari sikap kehati-hatian. Aturan tersebut telah lama berlaku di Indonesia yang maksudnya agar bank tidak mempertaruhkan uang yang dikumpulkannya dari para penabung, hanya untuk debitur atau peminjam tertentu saja. Kredit bank itu harus terdiversifikasi.
Soalnya dulu di tahun 1988 pemerintah pernah mengeluarkan Pakto 27 (Kebijakan 27 Oktober 1988) yang memperlonggar izin pendirian bank baru. Akibatnya banyak sekali pengusaha yang tidak punya pengalaman di bidang perbankan, ikut-ikutan membuat bank sendiri.
Gampang diduga, bila pengusaha punya bank, maka dari tabungan yang dihimpun bank tersebut tentu akan banyak disalurkan sebagai kredit bagi perusahaan si pemilik bank itu sendiri. Bila perusahaannya "batuk-batuk", akhirnya jelas segera menular ke banknya.
Nah, setelah itu Bank Indonesia (BI) yang sebelum ada OJK berwenang mengatur dan mengawasi bank-bank di tanah air, mengeluarkan ketentuan tentang BMPK.Â
Seperti dikutip dari kontan.co.id (9/10/2017), ketentuan BMPK yang berlaku sekarang adalah sebuah bank hanya diperkenankan memberikan kredit paling besar 10% dari modal bank kepada seorang debitur yang terkait dengan bank, atau 20% kepada pihak yang tidak terkait dengan bank.
Sedangkan kepada kelompok peminjam yang bukan pihak terkait dengan bank, BMPK-nya 25% dari modal bank. Khusus untuk BUMN yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, dikecualikan menjadi 30%.
Bagaimana dengan aplikasinya di lapangan? Ambil contoh proyek jalan tol yang bisa memakan biaya sekitar Rp 5 triliun sampai Rp 10 triliun untuk satu ruas tertentu.Â
Meskipun proyek tersebut feasible dalam arti layak dibiayai bank karena diyakini akan lancar pengembaliannya setelah proyek tersebut selesai dan beroperasi, tetap saja sulit untuk memberikan kredit bila hanya berasal dari sebuah bank saja.
Maka untuk menyiasatinya, bank yang tertarik mendanai proyek jalan tol akan mengajak beberapa bank lain, agar tidak melanggar ketentuan BMPK. Tentu saja bank yang diajak butuh waktu untuk mempelajarinya, sehingga berakibat pada lamanya proses pengucuran kredit.
Melihat contoh di atas, menjadi wajar bila BCA mengusulkan pelonggaran ketentuan BMPK kepada OJK. Sebetulnya bukan hanya BCA yang meminta, tapi juga menjadi aspirasi bank-bank papan atas lain yang juga menyalurkan kredit ke berbagai proyek infrastruktur.
Mengingat betapa pentingnya pembangunan infrastruktur, yang boleh dikatakan bersifat mutlak demi kelancaran roda perekonomian yang membawa dampak positif bagi peningkatan penghasilan masyarakat banyak, maka OJK layak mempertimbangkan usul tersebut.
Kalaupun ketentuan BMPK diperlonggar, pasti bank juga tidak mau "bunuh diri" tanpa melakukan analisis yang cukup, termasuk memahami aspek manajemen risikonya, sebelum memutuskan mengucurkan kredit pada proyek infrastruktur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H