Selama ini kalau berbicara tentang aset atau harta yang dimiliki orang secara pribadi, yang terbayang tentu saja rumah yang luas dan megah, mobil yang mewah, perhiasan emas dan permata yang indah, pakaian dan asesoris yang wah, dan hal lain yang kasat mata. Ada juga yang tidak kasat mata, tapi tercatat dokumen yang menunjukkan kekayaannya seperti deposito, saham dan obligasi.
Kekayaan perusahaan pun lebih kurang sama, tapi tentu dengan ukuran yang jauh lebih besar dibanding kekayaan pribadi. Misal kalau seseorang punya rumah lima buah, sudah layak dibilang kaya raya. Tapi bagi perusahaan besar, gedung kantornya bisa saja ratusan yang tersebar di banyak kota. Sedangkan kantor pusatnya sangat mentereng, sebuah gedung setinggi 50 lantai di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Itu baru gedung, belum lagi kendaraannya. Kalau satu kantor cabang punya sekitar 10 kendaraan, tentu jumlah mobil perusahaan tersebut bisa ribuan. Jika perusahaan tersebut berupa manufaktur, pabrik dengan semua mesin-mesin dan alat produksi lainnya, pasti besar pula nilainya.Â
Atau kalau berupa maskapai penerbangan yang punya 100 pesawat, taksir sendiri jumlah asetnya, walaupun sangat mungkin untuk membeli aset tersebut, perusahaan itu meminta kredit dari bank.
Nah, dalam perkembangannya, aset yang kasat mata karena wujud fisiknya terlihat jelas, bukan lagi jadi jaminan sebuah perusahaan akan selalu berjaya. Di era sekarang, justru banyak perusahaan yang asetnya berupa aplikasi yang dikembangkan sedemikian rupa, yang nilainya tak kalah dengan gedung tinggi, tapi tak kelihatan wujud fisiknya, sehingga disebut sebagai intangible assets.Â
Gojek atau Grab punya puluhan ribu kendaraan, namun milik mitranya, bukan asetnya Gojek atau Grab. Ada juga perusahaan yang tak punya barang apapun, tapi aplikasinya menyediakan tempat bagi ribuan pedagang untuk membuka lapak di dunia maya, dan jutaan konsumen membeli dari platform seperti itu.
Ada pula yang tidak punya pesawat terbang atau hotel, tapi jutaan orang membeli tiket pesawat dan memesan hotel dari aplikasi tertentu yang dibangun sebuah perusahaan.Â
Ada yang tak punya bank, tapi berhasil menciptakan peer to peer lending, di mana orang yang punya uang bisa menabung dan yang butuh uang silakan meminjam, cukup dari gadget di tangannya.Â
Itu semua membuktikan bahwa di era milenial, peran strategis tangible assets, mulai tergerus oleh kecanggihan intangible assets. Jadi, kaya tidaknya sebuah perusahaan tidak lagi dilihat dari gedungnya yang menjulang tinggi, tapi dari berapa nilai aset non-fisiknya.Â
Agak susah memang menaksir nilainya, tapi dengan estimasi para pakar di bidangnya, jangan kaget kalau investor asing berani mengucurkan dana triliunan rupiah kepada perusahaan Indonesia yang mengembangkan intangible asset-nya. Maka, kurang lebih berarti sebegitulah nilainya.Â
Sebelum bisnis melalui dunia maya marak, terminologi intangible assets sudah lama dikenal dalam ilmu manajemen atau akuntansi.Â
Sebuah perusahaan yang berhasil menjadikan brand tertentu menjadi sangat terkenal, maka brand itu sendiri digolongkan sebagai intangible assets, yang nilainya bisa amat besar, bukan sebesar biaya membuat papan namanya. Demikian juga untuk hak merek, hak cipta, hak paten, dan hal-hal lain yang didapat dari keahlian khusus.
Ada pula yang disebut goodwill yang juga bagian dari intangible asset. Hal ini akan timbul bila ada pihak yang berani membeli sebuah perusahaan jauh melebihi nilai asetnya yang tercatat di pembukuan perusahaan.Â
Tentu si pembeli bukan orang bodoh yang tertipu, karena pasti sudah punya konsep yang diyakini mampu mengembangkan potensi perusahan yang akan dibelinya.
 Nah, selisih antara nilai aset yang tercatat dengan nilai beli perusahaan itu tadi, disebut sebagai goodwill. Â
Pendek kata, sekarang kebanggaan sebuah perusahaan sudah mulai beralih dari seberapa banyak aset fisiknya ke seberapa bernilai aset non-fisiknya.Â
Itu semua sangat tergantung pada kreativitas dan inovasi. Jangan lagi berdalih, seseorang gak akan berhasil karena tak punya modal. Modal utama bukan lagi berupa uang, tapi otak yang selalu melahirkan ide baru dan mengeksekusinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H