Bencana alam yang meluluhlantakkan beberapa daerah di tanah air seperti di Lombok dan Palu, ternyata membawa penderitaan yang berlipat-lipat bagi korbannya, sehingga pepatah "sudah jatuh tertimpa tangga" pun tidak lagi tepat untuk menggambarkannya. Mungkin pepatahnya perlu dilengkapi dengan "sudah jatuh tertimpa tangga lalu terperosok masuk jurang dan menggelepar pingsan".
Masalahnya tidak sekadar kehilangan rumah, sehingga harus membangun tempat berteduh yang baru, tapi juga atas rumah yang hilang itu, yang didapat dari kredit bank, tetap harus dicicil pengembaliannya ke bank sesuai perjanjian semula.
Coba simak kisah Dedi Arman yang dimuat Kompas (23/11) berikut ini. Penyintas gempa dan likuifaksi di Petobo, Palu, tersebut tidak lagi bisa memastikan di mana rumahnya sebab kawasan itu sudah menjadi bukit tanah setinggi 6-9 meter. Dedi baru 4 tahun mengangsur kredit rumah di sebuah bank dengan cicilan Rp 4,8 juta per bulan.
Jangka waktu kreditnya masih 11 tahun lagi, padahal seluruh harta bendanya musnah. Makanya ia tidak bisa membayangkan jika harus tetap mengangsur kredit atas rumah yang tidak ada lagi wujud fisiknya.
Sekarang para penerima kredit bank seperti Dedi di atas, membentuk "Forum Debitur Korban Bencana Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala" Â yang berjuang menuntut adanya kebijakan pemutihan atau penghapusan utang dari bank sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap korban bencana.
Masalahnya, beberapa bank mengeluarkan pernyataan hanya akan memberikan keringanan kredit, bukan penghapusan kredit, bagi korban bencana (Kompas, 22/11). "Keringanan kredit itu artinya tetap membayar. Itu seperti kena gempa lagi", kata Ando Wibisono, Ketua Forum Debitur tersebut di atas.
Kalau mengacu kepada istilah teknis perbankan, keringanan kredit disebut juga dengan restrukturisasi kredit. Jadi memang betul, bank dalam hal ini tetap mengupayakan penagihan terhadap kredit yang direstrukturisasi.Â
Hanya saja penagihan tersebut bisa mengubah persyaratan semula tergantung pola restrukturisasi yang dipakai. Ada yang untuk beberapa tahun tidak diminta mengangsur, tapi setelah itu baru mengangsur dengan pengunduran jangka waktu pelunasan.
Kredit yang direstrukturisasi pada akhirnya berujung pada dua kemungkinan, yakni kembali dikelompokkan pada kredit yang lancar pengembaliannya, atau bila memang debitur betul-betul tidak mampu, akan dihapusbukukan.
Ingat, istilahnya adalah hapus buku (write off), bukan hapus tagih. Hanya dihapus dari pembukuan bank, tapi tetap terdokumentasi di luar neraca (off balance sheet). Orang bank menyebutnya sebagai "harta karun" karena bila nanti, entah kapan, terdeteksi si debitur yang telah dihapusbukukan itu sudah punya kemampuan finansial, ditagih lagi.
Makanya kalaupun dalam pemaparan pihak manajemen suatu bank saat jumpa pers tentang kinerja tahunannya, menyebut jumlah kredit yang telah dihapusbuku, itu hanya secara total. Bank amat jarang mengumumkan siapa saja debitur yang mendapat fasilitas itu, termasuk dalam annual report-nya yang rinci setebal beratus-ratus halaman.
Tapi uraian di atas berlaku secara business as usual pada keseharian bank. Maksudnya tanpa ada peristiwa bencana pun, yang namanya usaha debitur ada saja yang bangkrut sehingga direstrukturisasi oleh bank.
Masalahnya, kasus di Palu adalah unusual, sesuatu yang luar biasa. Makanya memang ada dua kepentingan yang sampai sekarang belum ada titik temunya. Di satu sisi, sudah merupakan prosedur standar di bank manapun untuk selalu bertindak hati-hati (prudent), termasuk untuk menghindari kemungkinan timbulnya moral hazard, seperti hanky panky antara oknum bank dengan nasabah.
Lagi pula uang yang disalurkan bank sebagai kredit itu, pada dasarnya juga uang masyarakat, yakni dari mereka yang menabung di bank. Pasti para penabung tidak mau tabungannya tergerus karena bank menderita kerugian akibat kredit yang macet pengembaliannya gara-gara ada bencana alam.Â
Di pihak lain, debitur korban bencana alam butuh kepastian bahwa utangnya ke bank sudah "diikhlaskan" bank alias tidak akan ditagih lagi. Nah, inilah yang butuh verifikasi yang akurat, agar kalaupun nanti bank melakukan penghapusan kredit, tidak ada nasabah yang bukan korban bencana yang ikut membonceng.
Jadi, masalah ini tampaknya membutuhkan langkah terobosan yang melibatkan beberapa pihak, tidak hanya bank dengan nasabah. Bahkan agaknya perlu penanganan yang bersifat politis dalam arti melibatkan pemerintah pusat dan dukungan DPR-RI.
Bank pasti butuh "payung hukum" kalau nantinya diputuskan buat menghapuskan kredit. Payung tersebut bisa berupa peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang bertugas mengawasi perbankan di Indonesia. Bisa pula berupa Instruksi Presiden atau yang sejenis itu, yang tentu harus dikaji para ahli hukum terlebih dahulu agar tidak menabrak perundang-undangan sebagai ketentuan yang lebih tinggi.Â
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H