Tapi uraian di atas berlaku secara business as usual pada keseharian bank. Maksudnya tanpa ada peristiwa bencana pun, yang namanya usaha debitur ada saja yang bangkrut sehingga direstrukturisasi oleh bank.
Masalahnya, kasus di Palu adalah unusual, sesuatu yang luar biasa. Makanya memang ada dua kepentingan yang sampai sekarang belum ada titik temunya. Di satu sisi, sudah merupakan prosedur standar di bank manapun untuk selalu bertindak hati-hati (prudent), termasuk untuk menghindari kemungkinan timbulnya moral hazard, seperti hanky panky antara oknum bank dengan nasabah.
Lagi pula uang yang disalurkan bank sebagai kredit itu, pada dasarnya juga uang masyarakat, yakni dari mereka yang menabung di bank. Pasti para penabung tidak mau tabungannya tergerus karena bank menderita kerugian akibat kredit yang macet pengembaliannya gara-gara ada bencana alam.Â
Di pihak lain, debitur korban bencana alam butuh kepastian bahwa utangnya ke bank sudah "diikhlaskan" bank alias tidak akan ditagih lagi. Nah, inilah yang butuh verifikasi yang akurat, agar kalaupun nanti bank melakukan penghapusan kredit, tidak ada nasabah yang bukan korban bencana yang ikut membonceng.
Jadi, masalah ini tampaknya membutuhkan langkah terobosan yang melibatkan beberapa pihak, tidak hanya bank dengan nasabah. Bahkan agaknya perlu penanganan yang bersifat politis dalam arti melibatkan pemerintah pusat dan dukungan DPR-RI.
Bank pasti butuh "payung hukum" kalau nantinya diputuskan buat menghapuskan kredit. Payung tersebut bisa berupa peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang bertugas mengawasi perbankan di Indonesia. Bisa pula berupa Instruksi Presiden atau yang sejenis itu, yang tentu harus dikaji para ahli hukum terlebih dahulu agar tidak menabrak perundang-undangan sebagai ketentuan yang lebih tinggi.Â
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H