Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Paradoks di Seputar Dunia Masak Memasak

16 November 2018   10:08 Diperbarui: 16 November 2018   10:30 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sebetulnya sering merasa kasihan dengan istri saya yang setiap hari kerja rajin bangun subuh karena harus menyiapkan makanan untuk sarapan pagi saya dan dua arang anak. Istri saya sendiri tidak keburu sarapan pagi, karena sehabis memasak ia harus segera mandi dan siap-siap untuk berangkat kerja.

Ya, inilah konsekuensi dari keputusan kami untuk tidak lagi menggunakan jasa asisten rumah tangga (ART), setelah beberapa kali mendapatkan pengalaman yang kurang enak. Ada yang diam-diam mengambil uang, dan ada pula yang tiap sebentar minta izin pulang kampung. Maka, sejak anak kami memasuki usia remaja, masing-masing dididik mandiri membereskan kamar atau pakaiannya, meski mereka relatif malas-malasan.

Tak banyak ibu-ibu yang bekerja yang masih setia memasak. Dari cerita teman-teman saya di kantor, banyak di antaranya adalah ibu-ibu, mayoritas punya ART. Meskipun begitu, rata-rata mereka tidak sempat sarapan di rumah, karena takut telat masuk kantor. Fungsi ART lebih banyak untuk membersihkan rumah dan mencuci serta menyetrika pakaian.

Jangan heran bila ibu-ibu di kantor, eh bapak-bapaknya juga, sebagian besar ritual awalnya adalah memanggil office boy untuk diminta membeli sarapan pagi dari warung yang ada di sekitar kantor. Biasanya makanan yang sering dipesan adalah bubur ayam, bubur kacang hijau, lontong sayur, atau beberapa potong gorengan.

Banyak pula office boy yang kreatif, yang menyetok mie instan, kemudian melayani permintaan para pegawai di kantornya untuk dibuatkan mie instan rebus di pantry yang ada di kantor tersebut.

Lalu untuk makan siang, orang kantoran ramai-ramai keluar kantor memenuhi warung makan yang banyak terdapat di sekitar kawasan perkantoran, meskipun hanya kelas warung tenda. Tentu bagi mereka yang sudah level pejabat, memilih restoran yang berkelas.

Kemudian saat pulang kantor, ibu-ibu banyak pula yang menenteng makanan untuk dimakan di rumah bersama keluarga. Tapi sekarang sejak marak layanan pesan makanan secara online, semakin memanjakan ibu-ibu karena menyediakan banyak pilihan dan praktis.

Begitulah ritual sehari-hari para ibu yang bekerja, atau sering disebut juga wanita karir. Barulah di akhir pekan, ibu-ibu melakukan aktivitas memasak. Tapi itupun bila tidak ada rencana keluar rumah, seperti main ke mal, ke pengajian, ke arisan, reunian, mengunjungi saudara, dan sebagainya. 

Maka, bila kita sering menjumpai food court di mal-mal penuh oleh keluarga yang ingin mencicipi hidangan dalam suasana yang lebih nyaman di hari libur, ya tentu bisa dimaklumi.

Lengkaplah sudah, gak di hari kerja, gak di hari libur, dunia masak memasak semakin menjauh dari ibu-ibu zaman sekarang. Namun demikian ada yang bisa disebut sebagai paradoks, karena di rumah para wanita karir itu, tersedia kitchen set yang modern dengan peralatan yang lengkap. Kalau mereka ke supermarket, bahan untuk memasak diborong, tapi akhirnya banyak yang membusuk di kulkas.

Atau terkadang, ada yang betul-betul memasak, tapi kemudian sebagian terbuang, jadi mubazir, karena anak-anaknya tetap lebih menyukai makanan yang dipesan dari luar. Selera anak masa kini memang berbeda dengan selera orang tuanya.

Paradoks berikutnya, berbagai acara di televisi atau video dari media online yang menayangkan acara masak memasak, semakin banyak ditonton. Jangan kaget sekarang para chef sudah menjadi selebriti. Bila ada event demo memasak dari chef terkenal, meskipun berbayar, akan dihadiri banyak ibu-ibu.

Begitulah berbagai paradoks dalam dunia masak memasak. Saya sendiri terkena paradoks yang lain. Di satu sisi saya bersyukur karena relatif mampu membeli aneka makanan yang banyak diiklankan di berbagai media. Tapi saya malah sering merindukan suasana zaman dulu, seperti almarhumah ibu saya yang menyiapkan makanan sederhana ala rumahan setiap harinya, menggunakan kayu bakar sehingga menimbulkan aroma khusus. 

Atau apakah dulu ibu-ibu mau seperti itu karena memang tidak banyak pilihan lain? Tapi bercermin pada pengalaman saya di waktu kecil, ibu saya demikian ikhlas memasak, sehingga waktu kami sekeluarga menikmantinya alangkah sedapnya.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun