Industri pariwisata di banyak negara, termasuk Indonesia, berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Banyak faktor yang mendukung, antara lain adanya beberapa maskapai penerbangan berbiaya murah, kemudahan pemesanan tiket pesawat dan hotel secara online, dan kegemaran hampir semua orang untuk memamerkan foto-fotonya di tempat wisata di media sosial.
Dan satu hal lagi yang paling penting, promosi untuk menggaet wisatawan sekarang ini betul-betul dilakukan secara besar-besaran dan lebih sering, serta difasilitasi oleh pemerintah masing-masing negara. Soalnya, semakin banyak turis asing datang, berarti semakin banyak devisa atau mata uang asing yang masuk ke negara tersebut.
Makanya target jumlah kedatangan turis asing di Indonesia yang selalu naik setiap tahunnya, dengan cara bagaimanapun harus dicapai, karena diyakini menjadi penyelamat ekonomi kita yang sekarang sedang digoyang penurunan nilai rupiah terhadap mata uang asing.Â
Bahkan pemerintah tidak keberatan membebaskan visa kunjungan warga asing yang memegang paspor dari 169 negara untuk berkunjung ke Indonesia selama 30 hari. Sekali lagi, 169 negara (www.imigrasi.go.id), yang artinya hampir semua negara di dunia, yang diakui PBB ada 194 negara (bibliotika.com), bebas datang ke negara kita.
Nah, bila selama ini anda mengira turis asing tersebut orang yang parlente, kaya, senang berbelanja, itu mungkin pas untuk menggambarkan turis dari negara maju di zaman dahulu, yang bahkan membuat kita merasa rendah diri berhadapan dengan mereka.
Sekarang, mari kita lihat beberapa berita miring yang berkaitan dengan turis asing di Pulau Bali, yang sampai saat ini masih menjadi destinasi wisata nomor satu di negara kita.
Beredarnya video seorang turis asing yang mengais makanan di tong sampah di Bali, baru-baru ini menjadi viral di media sosial (kompas.com 23/10) Dalam tiga video yang masing-masing berdurasi 19, 17, dan 16 detik itu, tampak setelah mengais isi tong sampah, sang turis mengambil makanan yang telah dibuang itu untuk dimakan.Â
Aksi turis asing tersebut direkam dan diunggah oleh Dwikayanthi Pudjha di akun Facebook miliknya pada Sabtu (20/10) yang lalu. Peristiwa tersebut terjadi di depan Pollok Artshop-Museum Leemayour, pantai Sanur, Denpasar, Bali.
Berikutnya dari indobrita.co (23/10) didapat info bahwa polisi langsung mencari turis yang makan dari mengorek-ngorek makanan di tong sampah itu. Apalagi ada laporan masuk ke pihak kepolisian tentang hilangnya seorang turis asal Latvia, tapi ternyata sang pengorek sampah itu wisatawan asing asal Bulgaria. Namun tidak jelas kenapa ia sampai jadi gelandangan seperti itu.
Jauh sebelumnya, ditemukan bule Jeman yang jadi pengemis di Bali (jpnn.com, 8/9/2016). Bule tersebut bernama Benyamin Holst (27 tahun), nekat mengemis di traffic light Jalan By Pass, Tabanan, Bali, karena kehabisan bekal dan menunggu kiriman dari keluarganya di Jerman.
Memang turis kere di Bali yang kehabisan ongkos sudah beberapa kali diberitakan. Di samping yang mengemis ada pula yang menjadi pengamen. Bahkan ada pula yang bikin onar.Â
Jelas sudah, bahwa di satu pihak, mendatangkan turis sebanyak-banyaknya, telah menjadi target pemerintah. Tapi tentu dengan maksud para turis asing itu berbelanja dengan membeli berbagai produk Indonesia sehingga bisa menggerakkan perekonomian nasional.
Susah untuk menyeleksi mana wisatawan yang berduit dan mana yang kere, kecuali bila dipersayaratkan mengurus visa terlebih dahulu, yang antara lain wajib melampirkan saldo tabungannya di bank.
Sekarang yang membanjiri Bali bukan bule-bule saja, tapi justru terjadi lonjakan dahsyat turis dari China yang datang dengan paket amat murah, dengan harga yang tak masuk akal. Pelaku bisnis pariwisata bukannya senang dengan hal tersebut, tapi justru prihatin, karena turis tersebut relatif tidak membawa dampak positif bagi ekonomi Bali.
Tribunbali.com (23/10) menulis bahwa turis China di Bali paling banyak jumlahnya, tapi paling sedikit belanjanya. Mereka bukan tinggal di hotel, tapi di hostel secara ramai-ramai. Bukan menyewa kamar, tapi ranjang.
Turis China dengan paket super murah itu, juga tidak bebas bepergian, tapi wajib ikut pemandu untuk belanja di toko khusus milik investor dari China yang juga menjual barang buatan China. Jadi turis tersebut praktis tidak banyak kesempatannya menikmati keindahan pulau dewata.
Namun pelaku bisnis pariwisata juga menuding kelebihan suplai menjadi biang praktik tidak sehat. Maksudnya jumlah hotel dan penginapan sudah berlebih, demikian pula jumlah toko souvenir.
Akibatnya, pelaku usaha main banting harga atau memberi iming-iming tinggi buat para calo atau pemandu wisata yang membawa turis ke hotelnya, restorannya atau tokonya.
Tampaknya pelaku bisnis pariwisata dan dinas pariwisata perlu duduk bersama untuk mencari solusi terhadap hal ini. Jangan sampai banyaknya turis asing justru menimbulkan dampak sosial yang besar, sementara dampak ekonominya kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H