Jelas sudah, bahwa di satu pihak, mendatangkan turis sebanyak-banyaknya, telah menjadi target pemerintah. Tapi tentu dengan maksud para turis asing itu berbelanja dengan membeli berbagai produk Indonesia sehingga bisa menggerakkan perekonomian nasional.
Susah untuk menyeleksi mana wisatawan yang berduit dan mana yang kere, kecuali bila dipersayaratkan mengurus visa terlebih dahulu, yang antara lain wajib melampirkan saldo tabungannya di bank.
Sekarang yang membanjiri Bali bukan bule-bule saja, tapi justru terjadi lonjakan dahsyat turis dari China yang datang dengan paket amat murah, dengan harga yang tak masuk akal. Pelaku bisnis pariwisata bukannya senang dengan hal tersebut, tapi justru prihatin, karena turis tersebut relatif tidak membawa dampak positif bagi ekonomi Bali.
Tribunbali.com (23/10) menulis bahwa turis China di Bali paling banyak jumlahnya, tapi paling sedikit belanjanya. Mereka bukan tinggal di hotel, tapi di hostel secara ramai-ramai. Bukan menyewa kamar, tapi ranjang.
Turis China dengan paket super murah itu, juga tidak bebas bepergian, tapi wajib ikut pemandu untuk belanja di toko khusus milik investor dari China yang juga menjual barang buatan China. Jadi turis tersebut praktis tidak banyak kesempatannya menikmati keindahan pulau dewata.
Namun pelaku bisnis pariwisata juga menuding kelebihan suplai menjadi biang praktik tidak sehat. Maksudnya jumlah hotel dan penginapan sudah berlebih, demikian pula jumlah toko souvenir.
Akibatnya, pelaku usaha main banting harga atau memberi iming-iming tinggi buat para calo atau pemandu wisata yang membawa turis ke hotelnya, restorannya atau tokonya.
Tampaknya pelaku bisnis pariwisata dan dinas pariwisata perlu duduk bersama untuk mencari solusi terhadap hal ini. Jangan sampai banyaknya turis asing justru menimbulkan dampak sosial yang besar, sementara dampak ekonominya kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H