Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Mendarat dari Luar Negeri

17 Oktober 2018   16:09 Diperbarui: 17 Oktober 2018   16:38 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta (dok. kompas.com)

Sambil makan siang di kantor, teman-teman saya yang relatif sering ke luar negeri pada pamer dengan menceritakan pengalamannya berwisata ke banyak negara maju. Ya, penuh puja puji begitulah terhadap negeri orang. Namanya juga negara maju.

Saya diam saja karena pengalaman saya ke luar negeri tidak sesering mereka. Itupun kebanyakan karena dinas,  ikut semacam pelatihan selama beberapa hari. Yang khusus untuk berwisata, paling-paling hanya tak lebih dari jumlah jari di satu tangan.

Kalau berkeliling di dalam negeri, alhamdulillah, saya lebih unggul dari mereka. Namun saya tak mau mengganti topik pembicaraan, biar kebanggaan mereka tidak terganggu.

Tapi ketika mereka mengaku kesal sewaktu mendarat sehabis tur dari luar negeri, dalam hati saya mulai protes. Memang saya mengerti dan pernah mengalami juga, setelah seminggu dua minggu seseorang menikmati keteraturan dan kenyamanan di negara maju, mindset luar negeri masih melekat.

Lalu tiba-tiba harus berhadapan dengan antre yang panjang saat melapor di imigrasi dan bea cukai, rasanya agak ngedumel. Di tambah lagi bagi yang mencari taksi, juga tidak gampang. Taksi merek tertentu yang reputasinya baik, antriannya mengular.

Kemudian sudah pasti kita harus melewati jalanan yang macet, kendaraan yang saling serobot dan bunyi klakson yang demikikian sering terdengar dari pengemudi yang kurang sabar.

Namun bagaimanapun juga, menurut saya, kondisi di negara kita sudah ada perbaikan. Kualitas bandara semakin baik, luas dan nyaman. Masih kalah memang dari Changi di Singapura, namun gap-nya tidak lagi lebar. Terminal 3 Soekarno Hatta Jakarta, Bandara Juanda Surabaya dan Ngurah Rai Bali, termasuk oke punya.

Saya pernah dua kali mengalami hal yang tidak enak pas mendarat sepulang dari luar negeri. Koper saya dirobek sehingga kuncinya terbuka. Tapi tak ada barang yang hilang karena isinya cuma baju kotor dan buku atau handout yang dibagikan saat pelatihan selama seminggu di New York tahun 2014. 

Adapun uang atau barang berharga lain setiap bepergian di dalam ataupun luar negeri, selalu saya simpan di tas pinggang atau ransel yang terpasang di tubuh ke mana pun juga.

Pengalaman berikutnya, sepulang dari Inggris tahun 2016 dan masih abidin alias atas biaya dinas. Saat itu saya panik karena  koper saya tidak muncul di ban berjalan. Akhirnya terpaksa melapor ke petugas bandara.

Untungnya petugas melayani saya dengan baik. Ternyata memang ada berita dari maskapai yang saya tumpangi bahwa koper saya tertinggal dan akan diterbangkan besoknya. Alhamdulillah, besoknya semua lancar dan koper kembali ke pangkuan saya.

Artinya, menurut saya pelayanan di bandara kita semakin baik. Tentang koper yang dibuka paksa oleh oknum, sekarang ini makin jarang terdengar. Mudah-mudahan betul-betul telah hilang.

Kembali ke diskusi dengan teman kantor saya di atas, saya menantang mereka untuk menyebutkan satu saja pengalaman yang menyenangkan sewaktu baru sampai di Indonesia.

Saya kesal karena tak satu orang pun yang merasa punya pengalaman menyenangkan. Jangan-jangan pikiran mereka memang "kotor" dari sononya, sehingga memandang apapun yang kita punya, jelek semua. Sedangkan yang punya negara asing, bagus semua.

Lalu saya lempar sebuah pertanyaan: "tidakkah anda happy begitu membayar taksi atau membayar apapun juga di Indonesia bila dibandingkan dengan hal yang sama di luar negeri, terasa begitu murah?". 

Barulah mereka ketawa dan menyahut: "...tul, betul, betul".  Betapa tidak, tarif taksi dari bandara ke rumah saya di Tebet, Jakarta Selatan hanya sekitar 10 dollar Amerika Serikat, dan tarif sejumlah itu di New York hanya cukup untuk jarak relatif dekat.

Kalau kita lapar, di Jakarta dengan nilai 5 dollar AS, sudah dapat makanan yang berkelas, termasuk minuman. Padahal di New York uang sejumlah itu hanya cukup untuk satu bungkus kebab halal di pinggir jalan, belum termasuk harga minuman.

Bila kita lagi di luar negeri, namun tetap berpikir dalam rupiah, bisa-bisa tidak mau belanja atau jalan-jalan. Karena kalau dirupiahkan mahalnya beberapa kali lipat.

Di luar negeri, naik bus kota untuk jarak dua halte saja sudah belasan ribu rupiah. Padahal naik Trans Jakarta sejauh-jauhnya hanya kena Rp 3.500 atau sekitar 0,25 dollar AS saja. 

Memang bagi warga Jakarta secara umum, tidak menyadari tarif tersebut murah banget. Tapi bagi yang baru mendarat dari luar negeri, khususnya dari negara maju, akan sangat terasa.

Semakin melemahnya rupiah, justru membuat harga-harga semakin murah bila dihitung dalam mata uang asing. Harusnya ini dijadikan sebagai alat promosi dalam menjaring  lebih banyak turis dari negara kaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun