Saya ikhlas apakah akan diambil oleh kasir yang melayani, untuk keperluan pribadi atau akan dikumpulkan dalam waktu cukup lama, bila nilainya sudah agak besar disumbangkan ke panti asuhan atau untuk keperluan sosial lainnya.Â
Saya sempat mengamati, ternyata yang bertindak seperti saya, lumayan banyak juga. Sehingga dalam sehari mungkin terkumpul sampai puluhan ribu rupiah untuk satu orang kasir.
Cerita di beberapa daerah terluar atau di perbatasan dengan negara lain, berbeda lagi. Di sana, semua uang koin termasuk pecahan Rp 500 dan Rp 1.000, juga ditolak sebagai alat pembayaran oleh para pedagang lokal. Tapi ini anggap saja sebagai pengecualian.
Yang jelas, secara umum gampang terlihat bahwa koin Rp 1.000 dan Rp 500 saat ini masih diterima dengan baik oleh masyarakat luas di banyak daerah.Â
Pak Ogah yang mengawal perputaran atau persimpangan jalan, sopir angkot, pengamen, dan tukang koran di pinggir jalan, rata-rata sering menerima dan menggunakan uang koin Rp 500.
Untuk pecahan Rp 200 dan Rp 100 memang masih lazim tercatat dalam pembukuan perusahaan atau sebagai alat kembalian di super market. Tapi harus diakui bahwa secara umum frekuensi penggunaannya oleh masyarakat semkin kecil.
Pertanyaannya, apakah sudah saatnya koin Rp 100 dan Rp 200 ditarik dari peredaran? Kita serahkan pada pihak yang punya kewenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H