Makamnya termasuk yang sering diziarahi dan dianggap keramat oleh sebagian warga. Saat penggusuran, makam yang dikeramatkan diminta warga untuk tidak ikut digusur.
Pinggir kali pun sudah dibeton dengan ketinggian sekitar 1,5 meter dari permukaan jalan, dengan catatan jalan tersebut jauh lebih tinggi dibanding permukaan air kali. Beton tersebut saat dibangun dulu diawali dengan menanam ribuan tiang pancang besar sebagai penyangga.
Odong-odong yang kalau di kampung lain menjadi sarana untuk anak-anak berkeliling, maka di Kampung Pulo belasan odong-odong berfungsi sebagai angkutan umum dengan trayek sepanjang jalan raya Kampung Pulo.
Namun demikian, satu dua alat angkut perahu rakit yang "sopir"-nya menarik tali kawat yang terbentang di atas sungai selebar 5 meter tersebut, masih setia beroperasi.
Kalau ditelusuri ke berbagai berita di media daring, saat Jakarta memasuki musim hujan di tahun 2016 dan 2017, di Kampung Pulo tidak lagi banjir. Tapi, pada Februari 2018 yang lalu, kampung ini banjir lagi, meski tidak separah seperti kondisi sampai tahun 2015.
Kompas.com (9/10/2018) memberitakan bahwa warga Kampung Pulo meminta Kali Ciliwung dikeruk, agar betul-betul terbebas dari banjir. Ini artinya kesadaran warga kampung tersebut telah muncul betapa pentingnya terhindar dari kekumuhan dan banjir.
Memang kalau dilihat, di depan rumah warga Kampung Pulo terlihat karung berisi sampah, menunggu diambil truk pengangkut sampah. Padahal dulu, banyak yang asal buang sampah ke kali. Mengubah budaya, meskipun susah, ternyata kita bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H