Pada tahun 2015 yang lalu, masih segar dalam ingatan, betapa populernya nama sebuah kampung di Jakarta Timur. Kampung Pulo namanya. Saat itu sebagian dari penduduk Kampung Pulo yang tinggal di sekitar Kali Ciliwung direlokasi, karena bantaran kali akan ditata, sehingga pada musim hujan tidak lagi meluap airnya alias tidak banjir.
Sekadar menyegarkan ingatan, Kampung Pulo adalah sebuah kampung yang dulu tergolong kumuh dan langganan banjir, tak begitu jauh dari pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Nah, saat penggusuran dilakukan oleh aparat keamanan, hebohnya luar biasa, sehingga ramai diberitakan media massa.
Memang pada tahun itu, Ahok yang terkenal dengan kepemimpinannya yang tegas, masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok sampai mengerahkan sekitar 2.500 personil keamanan yang terpaksa menyemprotkan gas air mata untuk mengatasi perlawanan warga yang menolak rumahnya digusur.
Ahok juga tidak segan turun langsung dan berdebat dengan warga setempat untuk menyadarkan mereka yang merasa nyaman-nyaman saja karena telah terbiasa dengan lingkungan yang kotor penuh sampah dan bahkan "menikmati" banjir.
Di samping karena telah terbiasa dengan kekumuhan itu tadi, bagi sebagian warga, kampung sepanjang lebih kurang 1,9 km dan dikelilingi oleh sungai Ciliwung tersebut, juga punya nilai sejarah.
Tentang asal usul nama, mungkin karena letaknya yang terkurung oleh kali, makanya dinamakan Kampung Pulo. Pulo bisa berarti pulau, meskipun bisa jadi juga punya arti lain. Ya, sebetulnya yang disebut pulau adalah daratan yang dikelilingi laut, bukan sungai.Â
Tapi yang jelas, Kampung Pulo memang terkungkung oleh air. Karena terkungkung itulah, fungsi alat angkut getek atau rakit menjadi vital yang digunakan warga untuk menyeberang ke atau dari Bukit Duri Tanjakan, atau lewat jalan biasa tapi memutar jauh.
Tak sedikit ulama besar dan guru agama yang lahir dari kampung tersebut yang berjasa karena sering mengajar atau berceramah ke berbagai penjuru Jakarta. Bahkan, Nyai Salmah yang merupakan ibu dari ulama besar Al Habib Ali Al Habsyi Kwitang, berasal dari Kampung Pulo (republika.co.id 22/8/2015)
Di kampung tersebut hidup pula kalangan Habaib dan Al Aidrus yang ditokohkan. Salah satunya Al Imam Al Ariefbillah Al Habib Husein bin Muchsin Al Aidrus, yang wafat dan dimakamkan di sana.Â
Makamnya termasuk yang sering diziarahi dan dianggap keramat oleh sebagian warga. Saat penggusuran, makam yang dikeramatkan diminta warga untuk tidak ikut digusur.
Pinggir kali pun sudah dibeton dengan ketinggian sekitar 1,5 meter dari permukaan jalan, dengan catatan jalan tersebut jauh lebih tinggi dibanding permukaan air kali. Beton tersebut saat dibangun dulu diawali dengan menanam ribuan tiang pancang besar sebagai penyangga.
Odong-odong yang kalau di kampung lain menjadi sarana untuk anak-anak berkeliling, maka di Kampung Pulo belasan odong-odong berfungsi sebagai angkutan umum dengan trayek sepanjang jalan raya Kampung Pulo.
Namun demikian, satu dua alat angkut perahu rakit yang "sopir"-nya menarik tali kawat yang terbentang di atas sungai selebar 5 meter tersebut, masih setia beroperasi.
Kalau ditelusuri ke berbagai berita di media daring, saat Jakarta memasuki musim hujan di tahun 2016 dan 2017, di Kampung Pulo tidak lagi banjir. Tapi, pada Februari 2018 yang lalu, kampung ini banjir lagi, meski tidak separah seperti kondisi sampai tahun 2015.
Kompas.com (9/10/2018) memberitakan bahwa warga Kampung Pulo meminta Kali Ciliwung dikeruk, agar betul-betul terbebas dari banjir. Ini artinya kesadaran warga kampung tersebut telah muncul betapa pentingnya terhindar dari kekumuhan dan banjir.
Memang kalau dilihat, di depan rumah warga Kampung Pulo terlihat karung berisi sampah, menunggu diambil truk pengangkut sampah. Padahal dulu, banyak yang asal buang sampah ke kali. Mengubah budaya, meskipun susah, ternyata kita bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H