Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Para Pemakan Gaji Buta dan Gerak Tanpa Bola

25 September 2018   09:09 Diperbarui: 25 September 2018   11:31 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Data tentang pegawai negeri sipil (PNS) yang terbukti melakukan korupsi serta perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), namun belum dipecat, cukup mencengangkan. 

Itulah yang diungkapkan oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang ramai dikutip media, antara lain cnnindonesia.com (4/9) yang lalu. Ada 2.674 orang PNS yang terlibat korupsi, tapi baru 317 orang yang dipecat.

Artinya, masih ada 2.357 PNS koruptor lainnya yang secara administratif tercatat masih aktif bekerja, dan tetap dibayar gajinya oleh pemerintah. Miris sekali bukan? Sudah menyolong uang negara, masih pula terima gaji. Ini namanya dua kali rugi.

Tapi, omong-omong, kondisi seperti itu juga terjadi di institusi yang pegawainya tidak termasuk PNS. Contohnya adalah di banyak perusahaan milik negara, di mana masing-masing perusahaan punya ketentuan kepegawaian tersendiri dan tingkat gajinya juga berbeda-beda tergantung kemampuan keuangan setiap perusahaan.

Saya cukup lama meniti karir di sebuah BUMN yang punya karyawan sangat banyak, lebih dari 100.000 orang, karena punya cabang di setiap kota kabupaten, dan ditambah lagi dengan cabang pembantu di hampir semua kota kecamatan di seluruh Indonesia.

Dari demikian banyak pekerja, wajar saja ditemukan segelintir oknum yang merugikan perusahaan. Jika saja yang disebut segelintir itu 1 %, itu artinya sudah 1.000 orang. Wow, ternyata amat banyak bukan?

Makanya, di tempat saya bekerja, divisi yang menangani audit, jumlahnya juga cukup banyak. Ada hampir 1.000 auditor yang tersebar di setiap wilayah, sehingga setiap cabang atau cabang pembantu, dalam setahun minimal dapat sekali kunjungan tim audit untuk selama satu sampai dua minggu.

Dari laporan audit tersebut, bisa saja ada pegawai yang ditemukan terlibat suatu kasus yang merugikan perusahaan. Di samping itu ada juga pegawai yang tertangkap oleh atasannya karena memakai dana kantor untuk keperluan pribadi, atau bisa pula dari pengaduan pelanggan dan dari surat kaleng yang sekarang disebut dengan whistleblower.

Nah, terhadap orang-orang yang berkasus tersebut, memang tidak langsung dijatuhi hukuman. Ada beberapa tahap yang harus dilalui sesuai standar prosedur yang telah ditetapkan.

Ada komite lintas divisi yang menggelar perkara dari setiap kasus, dan oknum yang diduga bersalah diberi kesempatan membela diri. Kemudian harus dilakukan beberapa kali rapat, sebelum keputusan diambil, apakah kepada si oknum cukup diberi surat peringatan (hukuman teringan), penundaan kenaikan gaji, penurunan pangkat, atau dipecat.

Bahkan, tidak sedikit pula, oknum yang di samping telah dijatuhi hukuman oleh perusahaan, juga diproses secara hukum melalui pengadilan, sehingga dijatuhi hukuman penjara.

Untuk beberapa kali rapat komite tersebut bisa membutuhkan waktu yang lama, berbulan-bulan, bahkan banyak pula yang lebih dari satu tahun. Soalnya, anggota komite terdiri dari pejabat yang juga punya tugas rutin. Lagi pula untuk mengumpulkan data dan mengolahnya, perlu waktu yang dilakukan oleh Divisi Sumberdaya Manusia.

Tentu komite tak ingin gegabah dalam mengambil keputusan. Ada ketentuan perundang-undangan yang harus menjadi referensi utama. Dulu, pernah seorang pejabat setingkat kepala cabang yang dipecat, kemudian ia memperkarakan melalui pengadilan, dan ternyata pengadilan merehabilitir namanya dan mewajibkan perusahaan memperkerjakannya kembali.

Selain itu, ada juga bisik-bisik sesama karyawan, kalau yang kena kasus adalah mereka yang disukai direksi, perkaranya bisa lebih cepat diproses dengan hukuman yang lebih ringan. Namun hal ini tentu susah dibuktikan.

Yang jelas, selama periode menunggu keputusan, mereka yang terlibat kasus, di-non job-kan. Mereka tetap masuk kerja, tapi hanya duduk-duduk saja di sebuah ruangan khusus. 

Selama itu pula mereka tetap dapat gaji, meskipun bagi yang dulunya punya jabatan, tunjangan jabatannya dicabut. Jadilah mereka sebagai para pemakan gaji buta. Kerjanya hanya duduk, buka laptop punya sendiri, lalu berselancar di dunia maya atau main game.

Berikutnya ada pula para pemakan gaji buta yang tersamar. Yang beginian banyak di kantor pusat atau kantor wilayah, karena jenis pekerjaannya lebih banyak bersifat administrasi atau menjalankan fungsi perencanaan dan koordinasi. Berbeda dengan karyawan kantor cabang yang sibuk di lapangan karena harus menghadapi atau mencari pelanggan.

Bayangkan, di pusat ada sekitar 40-an divisi dengan job description yang adakalanya tumpang tindih. Masing-masing divisi punya karyawan relatif banyak. Dalam situasi seperti itu ada saja beberapa karyawan yang kelihatannya sibuk, padahal sebetulnya tidak bekerja.

Terhadap karyawan yang pura-pura sibuk itu, sering diledek teman-teman sebagai "gerakan tanpa bola" atau disingkat gertabol. Ini sebetulnya gampang ditangani bila di setiap divisi punya bos yang bagus leadership-nya.

Dugaan saya, dalam lingkungan PNS, kelompok pemakan gaji buta karena melakukan gertabol mungkin jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah PNS yang menunggu pemecatan karena korupsi di atas.

Bagaimanapun juga, agar suatu institusi bisa beroperasi secara efektif dan efisien, pengucuran gaji buta harus dihentikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun