Franchise atau yang diterjemahkan dengan waralaba merupakan salah satu cara yang ampuh untuk mengembangbiakkan suatu usaha secara cepat dan menyebar di banyak tempat. Banyak sekali produk fast food yang menerapkan cara ini, di mana seseorang yang punya modal bisa membuka usaha menjual produk yang sudah punya nama, lengkap dengan standar operasionalnya, dengan memberikan imbalan kepada pemegang hak dari produk tersebut.
Kentucky Fried Chicken, McDonald's, Starbucks, adalah beberapa contoh produk yang mendunia dengan jumlah gerai yang berlipat ganda dalam waktu cepat dengan menerapkan sistem waralaba. Produk lokal Indonesia juga banyak yang mendulang sukses dengan konsep ini seperti Rumah Makan Sederhana, Es Teler 77, dan sebagainya, meskipun cakupannya masih bersifat nasional plus negara jiran.
Contoh terbaru dan mungkin tidak diduga banyak orang, ternyata sekarang  warung tegal (warteg) pun juga sudah  menerapkan sistem waralaba. Saya yang lumayan sering masuk keluar kampung di Jakarta, ketika melihat sebuah warteg dengan tampilan yang bersih, di kaca depannya tertulis nama wartegnya dengan rapi, sudah menduga bahwa warteg seperti ini bakal berkembang cepat.
Eh, ternyata di beberapa lokasi lain saya juga menemukan warteg dengan nama yang sama "Kharisma Bahari" serta sama pula tampilannya. Saya sudah curiga, ini pasti pakai sistem waralaba, karena kalau hanya dikelola oleh satu orang atau satu keluarga, tentu kapasitasnya tidak mencukupi.
Nah, jawabannya saya temui di Kompas Minggu (16/9) kemaren. Di bawah judul "Warteg Enggak Ada Matinya", Kompas menurunkan liputan yang luas tentang perkembangan warteg. Antara lain ditulis bahwa Warteg Kharisma Bahari adalah warteg pertama berkonsep waralaba.
Saat ini, Kharisma Bahari telah memiliki lebih dari 180 cabang di Jabodetabek dengan menerapakan sistem bagi hasil fifty-fifty tanpa royalti, sejak tujuh tahun lalu. Pendirinya adalah Sayudi atau lebih dikenal dengan Yudika (45 tahun), perantau asal Tegal. Yudika membuka diri ke investor lain, setalah kewalahan mengelola tiga warteg miliknya.Â
Tribunnews. com (21/10/2017) mengisahkan bahwa Yudika, meskipun hanya lulusan SD, berhasil merancang warteg yang bersih dan nyaman, dan memasarkannya secara digital karena memiliki website sendiri. Selama ini cerita tentang warteg digital hanya sebatas lucu-lucuan saja karena disebut menerapkan sistem touch screen, maksudnya pembeli cukup menyentuh ujung jari telunjuknya di kaca ke arah lauk yang disukainya, maka si penjual akan sigap mengambilnya.
Saya yang lahir dan besar di Sumatera Barat, praktis baru mengenal warteg setelah menjadi warga ibukota sejak sekitar 30 tahun yang lalu karena diterima bekerja di sebuah perusahaan milik negara.Â
Pengalaman pertama saya makan di warteg adalah di warung yang berada di  pinggir sebuah jalan kecil di kawasan Asembaris, Kebon Baru, Jakarta Selatan, dekat tempat saya menumpang tinggal di rumah paman.Â
Saya langsung jatuh cinta pada pengalaman pertama tersebut, karena kecepatan siap sajinya sama dengan rumah makan Padang. Yang membuat cocok di lidah saya, karena menu yang ditawarkan sama dengan masakan rumahan yang lazim bagi orang Padang seperti saya.
Bagi orang luar Padang sering salah duga dengan mengira kalau di rumah-rumah orang Padang sehari-hari makanannya seperti yang ada di rumah makan Padang, seperti rendang, gulai ayam, dendeng, dan sebagainya.
Padahal bagi mereka yang ekonominya biasa-biasanya, baru memasak dengan banyak daging, santan, dan cabe tersebut di hari-hari tertentu saja, seperti kalau lagi ada acara kumpul-kumpul.Â
Justru, menu sehari-hari di rumah saya saat kecil ya seperti di warteg itu, makan tempe atau tahu goreng balado, pergedel, telur dadar, sayur dan kerupuk.Â
Saya yakin kalau warteg berekspansi ke Sumatera Barat akan diterima baik, karena harganya lebih murah ketimbang rumah makan Padang yang berukuran kecil sekalipun, dan cocok di lidah.Â
Karena harga murah itulah, di awal saya bekerja di kawasan Benhil, Jakarta Pusat, saya menjadi pelanggan setia sebuah warteg di belakang kantor. Maklum sebagai karyawan baru gajinya pas-pasan.Â
Namun, setelah saya terkena tipus dua tahun kemudian, saya mulai "menjaga jarak" dengan warteg. Mohon maaf kalau saya menyimpulkan warteg di tempat saya sebelumnya biasa makan siang, kurang higienis karena sistem mencuci piringnya yang ditumpuk di satu ember air, lalu saat disajikan ke pelanggan berikutnya piring tersebut masih basah.
Tapi setelah membaca Kompas di atas, sepertinya saya terkena CLBK (Cinta Lama Bersemi Kembali). Di samping Kharisma Bahari, Kompas juga memberi contoh beberapa warteg yang pelanggannya banyak juga dari kelas menengah, yakni Warteg Nojo Jaya di belakang kompleks perkantoran WTC Jalan Sudirman dan Warteg Warmo di Tebet. Ada pula warteg yang lebih berkelas dengan tampilan yang mirip restoran, seperti Di Warteg Kemang, dan Warteg Hitz Lebak Bulus.Â
Betul, warteg memang kagak ade matinye. Di sini pelanggan betul-betul bebas untuk semata-mata menikmati makanan sampai kenyang, tanpa perlu pendingin udara, tanpa perlu wi-fi, tanpa perlu foto-foto dan main gadget, dengan menu yang Indonesia banget.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H