Pondok Indah, ini adalah nama komplek perumahan mewah, sangat mewah malah, tapi oleh Ciputra yang membuka kawasan ini dari sebelumnya hanya kebun kampung yang jauh dari pusat kota, sengaja memberi nama yang sangat lokal.Â
Meskipun tidak memakai bahasa asing, Pondok Indah diserbu orang-orang berduit, sehingga hari ini citranya sebagai perumahan elit tetap tak tergoyahkan.  Kalau saja dulu dinamai dengan Beautiful Cottage atau Beautiful Village, belum tentu sesukses Pondok Indah.
Dalam konsep pemasaran yang paling sederhana dikenal adanya istilah marketing mix yang unsurnya mencakup 4 P, yakni product, place, price, dan promotion. Nama, sangat berkaitan dengan unsur promotion dalam marketing mix tersebut.
Nah, kalau hanya sekadar memberi nama asing yang terkesan keren tanpa ditunjang oleh produk dan tempat yang baik, tetap tidak bakal menuai sukses.
Contohnya, anggap saja ada dua tukang pangkas rambut di sebuah gang di perkampungan yang padat di pinggiran Jakarta. Yang satu di depan kios sempitnya tertulis "Tukang Pangkas Ali" dengan tarif Rp 15.000.Â
Tak jauh dari situ ada "Jack Barbershop" dengan kondisi kios sama sempitnya, pokoknya semua sama dengan Tukang Pangkas Ali. Tapi gara-gara berlabel bahasa Inggris, si Jack memasang tarif Rp 30.000. Jadi yang membedakan, atau istilah marketing-nya diferensiasi, hanyalah faktor nama dan harga.
Apa yang terjadi? Jack kalau ingin sukses harus menurunkan harga menjadi sama atau lebih murah dari si Ali. Kalau si Jack, ingin bertahan dengan harga tinggi, maka dia harus berani merubah konsepnya dengan menyewa kios di jalan yang bisa dilewati mobil, memasang pendingin udara, menguasi berbagai model potong rambut yang trendi, sehingga pelanggan merasa worth it.
Sebuah bank besar yang membuka kantor sampai ke pelosok desa, setelah mempelajari kultur masyarakat pedesaan, sengaja membangun kantor bercorak sederhana, dan memakai istilah yang familiar dengan warga desa. Contohnya kalau di bank lain ada istilah account officer, di sana disebut mantri.Â
Justru kalau dibangun kantor yang terkesan mewah, orang kampung enggan masuk. Demikian pula para pegawainya, tidak memakai dasi sebagaimana layaknya pegawai bank, agar nasabah tidak merasa berbeda dengan pegawai yang melayani.Â
Bank ini sukses sebagai jagonya dalam memberikan kredit mikro, karena tahu budaya lokal. Pelanggan tidak butuh kecepatan dalam bertransaksi, tapi butuh suasana kekeluargaan, sehingga kalau pelanggan datang ke kantor sambil mengambil uang di kasir, mereka terlibat obrolan ringan beberapa menit saling bertukar kabar dalam bahasa daerah setempat.
Kesimpulannya, nama adalah salah satu unsur penting, tapi harus ditunjang dengan mutu produk yang baik, kemasan atau tampilan yang oke, pelayanan yang prima, lokasi yang tepat untuk target market yang dituju, dan harga yang bersaing dengan produk yang sekelas.