Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Tentang Pencopotan Komisaris BUMN

8 September 2018   04:12 Diperbarui: 8 September 2018   04:11 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam birokrasi sebuah perusahaan berskala besar, lazim juga disebut dengan korporasi, sangat jarang terjadi pencopotan komisaris. Kecuali kalau terjadi perubahan kepemilikan korporasi, karena pada dasarnya komisaris adalah mewakili pemegang saham alias pemilik. 

Artinya, semakin besar persentase saham yang dimiliki oleh seseorang, atau yang diwakili oleh seorang komisaris, tentu semakin besar pula pengaruhnya dalam mengambil keputusan, baik pada rapat dewan komisaris, maupun pada rapat pemegang saham.

Memang yang menjalankan operasional korporasi sehari-hari adalah direksi, namun selalu diawasi oleh komisaris. Jadi, sebetulnya yang lebih berkuasa itu adalah komisaris, karena komisaris bisa mencopot direksi melalui mekanisme rapat umum pemegang saham.

Tapi gambaran di atas menjadi kabur bila kita berbicara dalam konteks perusahaan keluarga, karena di sini pemegang saham, komisaris, dan direksi boleh jadi saling mempunyai hubungan darah. Memang untuk ini ada solusinya, yakni bila ketentuan tentang adanya komisaris independen dipatuhi. Namun demikian, dalam praktik, komisaris independen kalah gengsi ketimbang komisaris yang mewakili pemegang saham.

Kekaburan juga terjadi pada perusahaan milik negara, walaupun secara aturan main, semuanya sudah lengkap. Dalam hal ini, komisaris belum tentu lebih "bergigi" bila tidak mampu seiring seirama dengan pemerintah melalui Kementerian yang menangani Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sebagai contoh, sekarang ini, lagi ramai diberitakan tentang pencopotan Refly Harun dari jabatannya sebagai komisaris utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk., sesuai hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) dari BUMN yang banyak berbisnis pada pengelolaan jalan tol tersebut, Rabu (5/9) yang lalu.

Kompas.com (6/9) memberitakan bahwa Refly tidak tahu apakah pencopotannya berkaitan dengan sikapnya sebagai akademisi yang sering mengkritik pemerintahan Jokowi. Refly hanya diberi tahu oleh jajaran direksi, pencopotan itu karena ada sosok lain yang harus masuk, yakni Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2014-2017, Sapto Amal Damandari.

Refly Harun baru menjabat komisaris utama selama tiga tahun, padahal kelazimannnya direksi dan komisaris di BUMN dipilih untuk masa lima tahun, meskipun dengan catatan sewaktu-waktu bisa diakhiri lebih cepat.

Yang jelas, posisi menjadi komisaris BUMN, terutama BUMN besar yang sudah berstatus Tbk. (terbuka, artinya sebagian sahamnya dijual ke publik, meskipun porsi terbesar tetap dimiliki negara), menjadi rebutan banyak pihak, karena feeder-nya beragam. Agak berbeda dengan direksi yang feeder-nya adalah para profesional dengan rekam jejak yang jelas, dan mayoritas adalah kader dari masing-masing BUMN itu sendiri, atau yang telah sukses di BUMN lain.

Kenapa kursi komisaris jadi rebutan? Karena gaji dan fasilitasnya yang amat menggiurkan, padahal job-nya relatif ringan, karena hanya rapat di hari tertentu saja. Bahkan, bila BUMN tersebut menghasilkan laba yang besar seperti BUMN perbankan, tantiem-nya, atau bagian laba untuk pengurus (direksi dan komisaris), jumlahnya bisa jauh lebih besar dari total gajinya setahun. 

Kalau diamati, komisaris BUMN terdiri dari beberapa sumber, antara lain pejabat aktif di Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan atau kementerian lain yang berkaitan dengan bidang usaha suatu BUMN, akademisi (guru besar, peneliti, atau pengamat yang sudah punya nama besar), mantan pejabat dari instansi yang berkaitan dengan pengawasan (BPK, BI, OJK, BPKP, dan sebagainya), serta, nah ini yang debatable, mereka yang "berkeringat" memenangkan dan mendukung pemerintahan yang sedang berjalan.

Jadi, kembali ke kasus Refly Harun, sebetulnya terlihat masih dalam pakem yang sama, yakni yang dicopot mewakili akademisi, dan yang masuk menggantikan pejabat dari instansi pengawasan. Tentu akan lebih baik bila dalam RUPS diungkapkan alasan sesungguhnya dari pencopotan seorang komisaris BUMN apabila ia belum penuh 5 tahun menjabat.

Sebagai catatan, dalam perkembangan terbaru, ternyata Refly Harun mendapat penugasan baru sebagai Komisaris Utama PT Pelindo I (Persero), seperti yang dikutip dari detik.com (7/9). Artinya, clear, Refly tidak ada kasus apapun.

Terlepas dari soal di atas, pencopotan komisaris BUMN memang bisa saja karena sering bersuara keras terhadap pemerintah, tapi bisa pula karena bersuara keras terhadap direksi yang diawasinya. 

Nah, inilah bedanya BUMN dengan korporasi swasta. Di swasta, seperti yang ditulis di awal tulisan ini, komisaris bisa mencopot direksi, karena ia memang bertugas menilai dan mengawasi direksi. Di BUMN berlaku falsafah ngono yo ngono ning ojo ngono. 

Bila direksi merasa tidak nyaman menghadapi komisaris yang misalnya terlalu cerewet, maka lobi-lobi direksi boleh jadi bergerilya agar komisaris diganti saja. Dalam hal ini pemerintah tinggal pilih, lebih percaya ke direksi atau ke komisaris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun