Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jegal Menjegal Juga Terjadi di Birokrasi Perusahaan

19 Agustus 2018   10:17 Diperbarui: 21 Agustus 2018   22:53 2203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahfud MD beberapa hari terakhir ini menjadi "bintang" pemberitaan di banyak media, setelah ia berbicara blak-blakan di sebuah acara talkshow di salah satu stasiun televisi. Istilah yang sering dikutip media adalah bahwa Mahfud dijegal oleh partai atau organisasi massa tertentu, sehingga gagal menjadi calon wakil presiden. Padahal tadinya santer diberitakan Mahfud akan digandeng oleh Jokowi.

Berbagai analisis dikemukakan oleh pengamat politik, di antaranya partai tertentu tidak mendukung majunya Mahfud karena akan menjadi ancaman saat pilpres di tahun 2024.

Dengan usia yang relatif belum tua, Mahfud bisa menjadi calon kuat merebut kursi presiden, bila pada tahun 2019 sudah punya jam terbang sebagai Wakil Presiden. Mengusung Mahfud, istilahnya bak membesarkan anak macan bagi partai pengusung, mengingat Mahfud bukan kader partai.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas soal politik. Tapi soal jegal menjegal sebetulnya juga lazim dalam meniti karir di perusahaan. Jangan mengira politik itu hanya buat orang partai, anggota parlemen, pejabat negara, atau yang berkaitan dengan itu. Di perusahaan pun politicking lazim terjadi.

Sebuah contoh, di sebuah bank besar yang masuk top five secara nasional, suatu saat direktur bidang operasionalnya dijabat oleh si A.

Sejak itu, B yang masih berstatus staf di Divisi Sumber Daya Manusia (SDM), salah satu divisi di bidang operasional, melesat kariernya.

B awalnya dipromosikan sebagai salah satu kepala bagian (kabag) di Divisi SDM tersebut. Hal ini tidak menimbulkan komentar miring dari staf lain, karena memang B sudah beberapa tahun menjadi staf, jadi memang sudah saatnya dipromosikan. Apalagi ia menyandang gelar master dari luar negeri di bidang human resources management. Orangnya juga energik serta aktif memberikan saran dalam forum rapat antar bagian atau antar divisi.

Kemudian, baru 1 tahun 6 bulan sebagi kabag, B sudah dapat promosi lagi menjadi wakil kepala divisi (wakadiv) di divisi yang sama.

Nah, saat itu baru teman lain ribut memberikan berbagai komentar, karena ini tidak lazim.

Selama ini, rising star sekalipun, paling cepat butuh 3 tahun dari kabag ke wakadiv. Barulah promosi ini dihubung-hubungkan dengan status B sebagai keponakan dari A, sang direktur.

Dengan status wakadiv, sebetulnya B masih punya bos di divisinya, yaitu kadiv SDM. Tapi dalam tindakan dan ucapannya, B seolah-olah sudah jadi kadiv.

Dalam berbagai rapat ia seperti memaksakan pendapatnya untuk menjadi keputusan. Apalagi ia memang menguasai secara teori, meskipun di mata senior-seniornya dianggap belum punya pengalaman di lapangan. 

Ringkasnya, saat itu Divisi SDM "identik" dengan B, sedangkan kadivnya seperti sekadar formalitas saja.

Kadiv tidak berkutik dengan wakilnya, mungkin karena takut dengan direktur yang jadi backing-nya B, yang juga atasannya si kadiv.

Ternyata A relatif tidak lama jadi direktur. Saat B baru setahun menduduki kursi wakadiv, jabatan direktur operasional beralih ke orang baru.

Beberapa bulan setelah itu, sang direktur baru mengganti kadiv SDM dengan orang yang sudah kenyang di lapangan karena pernah beberapa kali jadi pemimpin wilayah.

Nah, di sinilah dramanya mencapai klimaks. Kadiv SDM yang baru, sebut saja namanya C, mengambil tindakan dengan "membuang" B yang sudah lama jadi key person karena merupakan konseptor di SDM. B mengalami mutasi biasa (bukan promosi) menjadi wakil pemimpin wilayah di luar Jawa. 

Bahasa resmi yang dipakai C saat acara perpisahan di divisi SDM adalah mengakui B sebagai pejabat yang banyak kontribusinya dan agar lebih komplit kompetensinya, perlu diperkaya dengan pengalaman di wilayah. 

Namun dalam versi tidak resmi, C pernah mengatakan kepada orang lain bahwa ia tidak mau "membesarkan anak macan" seperti B. Bila dibiarkan B akan nglunjak, karena ambisi B buat mengincar kursi kadiv SDM terlihat jelas. 

Bisa jadi B merasa terjegal. Tapi ya begitulah politicking di kantor. Toh permainan belum berakhir. B bisa menyusun kekuatan dari wilayah, bila berhasil unjuk gigi dengan peningkatan kinerja wilayah yang dipimpinnya.

Lagipula, C sebagai si penjegal kan tidak selamanya di kursi Kadiv SDM.

Kesimpulannya, dalam meniti karier di birokrasi perusahaan, seseorang harus senantiasa berusaha keras menunjukkan prestasinya dengan mencapai atau melampaui target yang diberikan atasannya.

Namun prestasi itu harus dibarengi dengan pribadi yang santun dan menghargai semua pihak, atasan maupun bawahan. Jangan sampai ada atasan "kecil" yang merasa terlangkahi, mentang-mentang dilindungi oleh atasan "besar".

Hal lain yang perlu ditanamkan, jangan besar kepala bila karir lagi menanjak, dan jangan pula patah semangat ketika sudah sekian lama tidak kunjung naik pangkat.

Memang begitulah dinamika berkarir di sebuah perusahaan yang tergolong besar, dengan struktur organisasi yang lengkap, terdiri dari beberapa lapis. 

Bila tidak tahan dengan birokrasi perusahaan, jadilah wirausahawan, sebagai pemilik usaha.

Kata orang, jadi bos di negeri semut lebih baik ketimbang jadi orang suruhan di negeri gajah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun