Dalam berbagai rapat ia seperti memaksakan pendapatnya untuk menjadi keputusan. Apalagi ia memang menguasai secara teori, meskipun di mata senior-seniornya dianggap belum punya pengalaman di lapangan.Â
Ringkasnya, saat itu Divisi SDM "identik" dengan B, sedangkan kadivnya seperti sekadar formalitas saja.
Kadiv tidak berkutik dengan wakilnya, mungkin karena takut dengan direktur yang jadi backing-nya B, yang juga atasannya si kadiv.
Ternyata A relatif tidak lama jadi direktur. Saat B baru setahun menduduki kursi wakadiv, jabatan direktur operasional beralih ke orang baru.
Beberapa bulan setelah itu, sang direktur baru mengganti kadiv SDM dengan orang yang sudah kenyang di lapangan karena pernah beberapa kali jadi pemimpin wilayah.
Nah, di sinilah dramanya mencapai klimaks. Kadiv SDM yang baru, sebut saja namanya C, mengambil tindakan dengan "membuang" B yang sudah lama jadi key person karena merupakan konseptor di SDM. B mengalami mutasi biasa (bukan promosi) menjadi wakil pemimpin wilayah di luar Jawa.Â
Bahasa resmi yang dipakai C saat acara perpisahan di divisi SDM adalah mengakui B sebagai pejabat yang banyak kontribusinya dan agar lebih komplit kompetensinya, perlu diperkaya dengan pengalaman di wilayah.Â
Namun dalam versi tidak resmi, C pernah mengatakan kepada orang lain bahwa ia tidak mau "membesarkan anak macan" seperti B. Bila dibiarkan B akan nglunjak, karena ambisi B buat mengincar kursi kadiv SDM terlihat jelas.Â
Bisa jadi B merasa terjegal. Tapi ya begitulah politicking di kantor. Toh permainan belum berakhir. B bisa menyusun kekuatan dari wilayah, bila berhasil unjuk gigi dengan peningkatan kinerja wilayah yang dipimpinnya.
Lagipula, C sebagai si penjegal kan tidak selamanya di kursi Kadiv SDM.
Kesimpulannya, dalam meniti karier di birokrasi perusahaan, seseorang harus senantiasa berusaha keras menunjukkan prestasinya dengan mencapai atau melampaui target yang diberikan atasannya.