Kamis (9/8) yang lalu, saya kedatangan tamu beberapa saudara dari Padang yang lagi berlibur di Jakarta. Karena saya ada keperluan ke Bandung, sekalian saya ajak mereka untuk melihat-lihat kota kembang yang dulu dijuluki Paris van Java itu.Â
Begitu memarkir kendaraan di alun-alun Bandung, saya melihat ada bus wisata yang disebut Bandung Tour on Bus (Bandros) yang lagi mangkal. Saya telah beberapa kali berkeinginan menjajal Bandros, tapi selalu ada halangan.
Beruntung kali ini rombongan yang saya bawa mau diajak naik Bandros, bahkan mereka terlihat lebih antusias ketimbang saya. Memang tampilan Bandros cukup menarik. Ada kesan antik seperti tram atau bus sejenis di kota-kota besar di luar negeri.Â
Bandros mempunyai banyak ruang terbuka sehingga penumpang tidak kepanasan. Di bagian yang ada jendela kacanya, dihiasi dengan berbagai motif ukiran, seperti jendela kaca di rumah-rumah era jadul. Interior lainnya termasuk plafon, kebanyakan bermotif seperti warna tekstur kayu, meski sepertinya bukan terbuat dari kayu.
Sebelum memulai perjalanan, seorang petugas berseragam, yang kemudian ternyata sekaligus sebagai pemandu, mendatangi semua penumpang untuk mencatat nama dan nomor hape-nya. Saya yang pada dasarnya enggan memberikan data pribadi, bertanya kepada sang petugas tentang maksud pendataan tersebut.
Rupanya hal itu adalah sebagai laporan ke atasannya bahwa Bandros memang berjalan tanpa penumpang fiktif, karena sewaktu-waktu bisa saja Dinas Perhubungan Kota Bandung sebagai pengelola, mengecek dari laporan tersebut dengan menelpon salah seorang penumpang secara acak.
Nah, ini termasuk hal yang menurut saya perlu dibenahi. Sebaiknya soal tarif ataupun tip ditulis secara transparan. Bila jumlah uang yang diberikan terserah penumpang, justru jadi tanda tanya, penumpang jadi saling melirik pemberian yang lain agar tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit.
Ia tahu gedung mana yang masih asli sejak zaman kolonial Belanda, mana yang sudah berubah fungsi, dan mana yang telah dihancurkan untuk dibangun yang baru. Memang kawasan yang dilalui kaya dengan kisah sejarah.
Memang dengan kondisi kota yang macet, hanya sedemikian rute yang dapat ditempuh untuk durasi satu jam, terbatas di kawasan pusat kota saja. Bila ingin berkeliling ke seluruh pelosok kota Bandung, bisa-bisa habis waktu seharian.
Di Jalan Asia Afrika tersebut terdapat Gedung Merdeka tempat berlangsungnya Kongres Asia Afrika tahun 1955. Sampai sekarang gedungnya masih terawat dengan baik. Demikian pula gedung-gedung kuno lainnya, termasuk sebuah hotel besar yang masih mempertahankan keaslian bangunan dari zaman Belanda.
Tempat lainnya yang dilewati yang bisa saya ingat adalah Masjid Lautze yang dibangun oleh muslim keturunan Tionghoa Bandung yang bernuansa oriental dengan warna dominan merah, serta Gedung Indonesia Menggugat tempat dulu Soekarno disidang di era penjajahan dan menyampaikan pembelaannya yang berjudul "Indonesia Menggugat".Â
Ya, Bandung memang punya banyak taman kota yang menawan, terutama sejak dipimpin oleh Ridwan Kamil yang punya keahlian di bidang arsitektur. Tentu masih banyak taman lain yang tidak dilalui oleh Bandros yang saya tumpangi.
Sebagai tambahan informasi, menurut sang pemandu, Bandros saat ini tersedia sebanyak 18 unit. Tapi tidak semuanya berkeliling pusat kota seperti yang saya alami. Ada yang rutenya ke pusat perbelanjaan, dan ada pula yang punya trayek ke tempat-tempat tertentu yang jaraknya relatih jauh.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H