Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menanti Kembalinya Program "One Day No Rice"

30 Mei 2018   15:08 Diperbarui: 30 Mei 2018   23:23 2445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.hariandepok.com

Saya lagi membaca buku yang berjudul "Paris, Sejarah yang Tersembunyi" karya Andrew Hussey. Di salah satu halamannya ada kisah saat Perancis terlibat perang dunia pertama di tahun 1918. Ketika itu, meskipun  banyak daerah Perancis yang menjadi area pertempuran, namun kota Paris relatif normal.

Terhadap kafe-kafe dan restoran yang masih beroperasi di Paris, pemerintah membuat peraturan setiap minggu ada sehari tanpa daging, karena takut dengan stock yang makin terbatas.

Tiba-tiba saya ingat dengan peraturan yang pernah berlaku di Depok, Jawa Barat, saat dipimpin oleh Walikota Nur Mahmudi Ismail.  Nur Mahmudi membuat peraturan one day no rice di wilayahnya, yakni di setiap hari Selasa.

Sayangnya, sewaktu walikota berganti dengan dilantiknya Idris Abdul Shomad pada Februari 2016 yang lalu, langsung membuat gebrakan dengan menghapus program one day no rice tersebut.

Dengan demikian, program yang sebetulnya bertujuan positif agar ketergantungan terhadap beras bisa berkurang, sekaligus mempromosikan pangan non beras, di Depok hanya bertahan selama 4 tahun, karena dulunya dimulai pada Februari 2012. 

Program tersebut bersamaan dengan kebijakan one day no car, sehingga dulunya setiap hari Selasa semua PNS di kota Depok dilarang membawa mobil, tidak boleh makan nasi, dan 21 buah kantin di kantor Balaikota Depok tidak menyediakan nasi atau lontong.

Sebagai pengganti nasi, banyak kantin yang menyediakan kentang, singkong, dan umbi-umbian lainnya. Program tersebut sebetulnya bukan ide orisinil dari Nur Mahmudi, tapi terinspirasi dari kesuksesan program serupa di Korea Selatan.

One day no rice di Depok mendapat apresiasi dari pemerintah pusat dan mendapat penghargaan rekor MURI. Banyak pemerintah kabupaten/kota lain yang mengadopsi program tersebut di berbagai daerah, termasuk di luar Jawa. Sebagai contoh, di lingkungan Pemda Jawa Barat, diberlakukan setiap hari Rabu dan di Lampung Selatan setiap Jumat.

Akhirnya di berbagai daerah bermunculan kreasi baru dari diversifikasi pangan, seperti ubi kayu goreng, ubi jalar goreng, getuk, mie sagu, serut, pergedel jagung, jagung dengan campuran kelapa, cream ubi, dan kolak ubi jalar.

Di Depok program tersebut memang telah dicabut. Tapi diharapkan daerah lain tidak ikut-ikutan mencabutnya. Namun pemberitaan di media tentang hal ini relatif tidak muncul ke permukaan. Sehingga wajar kalau ada yang bertanya:"Apa Kabar Program One Day No Rice?"

Mungkin pertanyaan tersebut kurang tepat momennya dalam suasana bulan puasa sekarang ini. Tapi maksudnya agar mulai "dihangatkan" kembali agar setelah puasa berlalu, program itu kembali bergema.

Idealnya, tanpa ada ketentuan dari pemerintah, masyarakat secara mandiri bisa mengubah pola konsumsinya, agar kebiasaan kalau belum makan nasi serasa belum makan, bisa sesekali berganti dengan selain nasi. 

Khusus bagi daerah tertentu seperti di kawasan timur Indonesia yang secara budaya sejak dulu sudah punya kebiasaan makan jagung, sagu, atau bahan non beras lainnya sebagai makanan sehari-hari, agar bisa kembali ke "khittah", karena telah diintervensi oleh budaya orang kota yang dianggap lebih maju, dengan memperkenalkannya pada beras. 

Budaya beras tersebut akhirnya malah menyengsarakan saudara-saudara kita di Indonesia Timur, karena mereka terpaksa merogoh kocek yang lebih dalam, agar tetap bisa menikmati makan nasi yang lebih "maju" itu. Ya, mereka sudah bergantung pada beras, sehingga terjadi homogenisasi pangan di negara kita.

Mudah-mudahan sosialisasi one day no rice kembali bergairah setelah bulan puasa ini, terutama dengan menyasar sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Mengubah pola makan para pegawai negeri yang usianya sudah di atas 30 tahun relatif lebih sulit, meskipun ada aturan pemda, ketimbang mengubah selera para remaja. 

Jika remaja sekarang berhasil digiring untuk tidak lagi bergantung pada beras semata, tentu saat mereka nantinya menjadi kepala keluarga lebih gampang membentuk budaya makan baru kepada anak-anaknya, sehingga lahirlah generasi baru yang cocok dengan gerakan diversifikasi pangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun