Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penjaga Toilet dan Tukang Pancing Sejati

5 Mei 2018   07:38 Diperbarui: 5 Mei 2018   13:12 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi yang sering bepergian melewati jalan tol dengan jarak relatif jauh, tentu sudah paham bagaimana  kondisi rest area karena gampang ditemukan. Sebagai contoh di jalan tol yang menghubungkan Jakarta dan Bandung, rata-rata setiap 15 km (di beberapa tempat bahkan hanya setiap 10 km), terdapat rest area dengan bentuk  yang relatif standar. 

Standar dimaksud antara lain terdiri dari tempat parkir yang luas, ada stasiun pengisian bahan bakar, jejeran rumah makan, mini market, masjid, dan tentu saja harus ada toilet yang relatif bersih. Toilet tersebut bersifat gratis yang dipertegas dengan adanya tulisan "Toilet Gratis" terpasang dengan jelas dari kejauhan, agar para pengguna jalan tol mengetahui bahwa toilet itu merupakan fasilitas pelayanan yang disediakan pengelola. 

Jelas hal tersebut berbeda dengan toilet di jalan non-tol yang biasanya menyatu dengan  tempat pengisian bahan bakar. Di sini biasanya ada kotak untuk "uang kebersihan" yang dijaga dan ditagih oleh petugas toilet. Bahkan banyak pula yang mencantumkan tarif yang berbeda untuk setiap aktivitas di toilet (buang air kecil lebih murah ketimbang buang air besar atau mandi).

Tapi apakah toilet di jalan tol betul-betul gratis? Ya bagi yang berani cuek. Soalnya di banyak rest area, meskipun tidak ada kotak tempat memasukkan uang receh bagi pengguna toilet, sering ada satu orang petugas cleaning service berseragam yang berdiri di pintu masuk. 

Ia memang tidak berani secara terang-terangan  meminta ongkos. Tapi gayanya itu lho, berdiri di depan pintu masuk, yang sekaligus berfungsi sebagai pintu keluar, mengawasi lalu lalang pengguna toilet sambil tangannya memegang lembaran uang.

Uang yang dipegang juga ada tekniknya. Uang yang bernominal relatif besar Rp 20.000 atau 10.000 ditarok paling depan. Maksudnya jelas sebagai pancingan, menuntut agar pengguna toilet "tahu sama tahu". Gratis sih gratis, tapi mbok ya tolong dong kasih tip buat petugas yang sudah capek membersihkan toilet. 

Toh para pengguna toilet sebelumnya tidak keberatan memberikan uang ala kadarnya. Buktinya ada pada lembaran uang yang dipegang si petugas. Kalau begitu, harus bayar berapa? Nah, karena ditangan petugas terlihat jelas pecahan Rp 10.000, masak iya tega ngasih Rp 2.000, padahal punya mobil bagus.

Teknik memegang uang seperti itu juga diterapkan dengan baik oleh petugas pemandu di tempat parkiran resmi yang menggunakan tarif jam-jaman, seperti di perkantoran, mal, hotel, dan sebagainya. Padahal saat melewati pos keluar parkir sudah pasti membayar tarif sesuai lamanya parkir. Namun kayaknya petugas yang memandu mendapatkan tempat parkir (saat kondisi penuh), atau memandu maju-mundurnya mobil, perlu diberi tip juga.

Tentu saja di tempat parkir tidak resmi kondisinya lebih jelas. Maksudnya jelas tidak ada tarif resminya, tapi jelas juga ada "jatah preman" yang menjaga di area tersebut. Bahkan di tempat-tempat tertentu di Jakarta, seperti di sisi jalan di depan Pasar Tanah Abang atau Jatinegara, premannya minta uang duluan, saat baru memarkir mobil,  dengan mematok tarif yang relatif besar, yakni Rp 10.000, dengan alasan bebas waktunya sampai sore sekalipun.

Pak Ogah yang membantu lalu lintas kendaraan di persimpangan yang tidak ada traffic light atau di u-turn tempat kendaraan berputar balik, adalah contoh lain yang juga menerapkan gaya memegang uang dengan baik. Hanya saja karena banyak pengendara yang memberikan koin pecahan Rp 1.000 atau 500, Pak Ogah banyak pula yang memakai kantong bekas pembungkus makanan ringan sebagai tempat uang seperti yang biasa dikakukan pengamen. 

Banyak pula pengendara yang kesal dengan keberadaan Pak Ogah, karena bukannya membantu, malah mebuat lalu lintas jadi semakin macet. Soalnya Pak Ogah sangat jeli mendahulukan pengendara mobil yang sedikit membuka kaca dan memberi isyarat uang yang akan diberikannya.

Kesimpulannya, dalam bepergian kita harus selalu siap memebawa beberapa lembar uang receh. Banyak tempat yang seharusnya dipakai atau dilewati secara gratis, tapi ternyata memerlukan pengeluaran ekstra. Banyak pula tempat yang sudah memakai tarif resmi tapi perlu membayar tip di luar tarif resmi tersebut.

Kalau ditarik dalam spektrum yang lebih luas, pancing memancing memang sudah menjadi bagian dari budaya kita. Makanya keahlian tukang pancing ini bukan spesialisasi penjaga toilet, tukang parkir, atau pak ogah saja. 

Justru cara ini telah lama dilakukan oleh tenaga pemasaran di perusahaan properti yang memajang gambar rumah yang dijualnya tapi beberapa unit ditulisi sold (telah terjual), pengusaha yang memberi hadiah kepada pejabat agar mendapat proyek, biro perjalanan umroh yang menggratiskan artis untuk umroh asal dipajang di akun media sosial si artis, politisi yang membagi uang atau sembako saat "serangan fajar" agar mendulang suara dalam pemilu, provokator yang memancing kerusuhan, serta banyak contoh lainnya yang terlalu panjang kalau dituliskan satu persatu. Merekalah yang sesungguhnya pantas dijuluki sebagai tukang pancing sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun