Bagi yang sering bepergian melewati jalan tol dengan jarak relatif jauh, tentu sudah paham bagaimana  kondisi rest area karena gampang ditemukan. Sebagai contoh di jalan tol yang menghubungkan Jakarta dan Bandung, rata-rata setiap 15 km (di beberapa tempat bahkan hanya setiap 10 km), terdapat rest area dengan bentuk  yang relatif standar.Â
Standar dimaksud antara lain terdiri dari tempat parkir yang luas, ada stasiun pengisian bahan bakar, jejeran rumah makan, mini market, masjid, dan tentu saja harus ada toilet yang relatif bersih. Toilet tersebut bersifat gratis yang dipertegas dengan adanya tulisan "Toilet Gratis" terpasang dengan jelas dari kejauhan, agar para pengguna jalan tol mengetahui bahwa toilet itu merupakan fasilitas pelayanan yang disediakan pengelola.Â
Jelas hal tersebut berbeda dengan toilet di jalan non-tol yang biasanya menyatu dengan  tempat pengisian bahan bakar. Di sini biasanya ada kotak untuk "uang kebersihan" yang dijaga dan ditagih oleh petugas toilet. Bahkan banyak pula yang mencantumkan tarif yang berbeda untuk setiap aktivitas di toilet (buang air kecil lebih murah ketimbang buang air besar atau mandi).
Tapi apakah toilet di jalan tol betul-betul gratis? Ya bagi yang berani cuek. Soalnya di banyak rest area, meskipun tidak ada kotak tempat memasukkan uang receh bagi pengguna toilet, sering ada satu orang petugas cleaning service berseragam yang berdiri di pintu masuk.Â
Ia memang tidak berani secara terang-terangan  meminta ongkos. Tapi gayanya itu lho, berdiri di depan pintu masuk, yang sekaligus berfungsi sebagai pintu keluar, mengawasi lalu lalang pengguna toilet sambil tangannya memegang lembaran uang.
Uang yang dipegang juga ada tekniknya. Uang yang bernominal relatif besar Rp 20.000 atau 10.000 ditarok paling depan. Maksudnya jelas sebagai pancingan, menuntut agar pengguna toilet "tahu sama tahu". Gratis sih gratis, tapi mbok ya tolong dong kasih tip buat petugas yang sudah capek membersihkan toilet.Â
Toh para pengguna toilet sebelumnya tidak keberatan memberikan uang ala kadarnya. Buktinya ada pada lembaran uang yang dipegang si petugas. Kalau begitu, harus bayar berapa? Nah, karena ditangan petugas terlihat jelas pecahan Rp 10.000, masak iya tega ngasih Rp 2.000, padahal punya mobil bagus.
Teknik memegang uang seperti itu juga diterapkan dengan baik oleh petugas pemandu di tempat parkiran resmi yang menggunakan tarif jam-jaman, seperti di perkantoran, mal, hotel, dan sebagainya. Padahal saat melewati pos keluar parkir sudah pasti membayar tarif sesuai lamanya parkir. Namun kayaknya petugas yang memandu mendapatkan tempat parkir (saat kondisi penuh), atau memandu maju-mundurnya mobil, perlu diberi tip juga.
Tentu saja di tempat parkir tidak resmi kondisinya lebih jelas. Maksudnya jelas tidak ada tarif resminya, tapi jelas juga ada "jatah preman" yang menjaga di area tersebut. Bahkan di tempat-tempat tertentu di Jakarta, seperti di sisi jalan di depan Pasar Tanah Abang atau Jatinegara, premannya minta uang duluan, saat baru memarkir mobil, Â dengan mematok tarif yang relatif besar, yakni Rp 10.000, dengan alasan bebas waktunya sampai sore sekalipun.
Pak Ogah yang membantu lalu lintas kendaraan di persimpangan yang tidak ada traffic light atau di u-turn tempat kendaraan berputar balik, adalah contoh lain yang juga menerapkan gaya memegang uang dengan baik. Hanya saja karena banyak pengendara yang memberikan koin pecahan Rp 1.000 atau 500, Pak Ogah banyak pula yang memakai kantong bekas pembungkus makanan ringan sebagai tempat uang seperti yang biasa dikakukan pengamen.Â
Banyak pula pengendara yang kesal dengan keberadaan Pak Ogah, karena bukannya membantu, malah mebuat lalu lintas jadi semakin macet. Soalnya Pak Ogah sangat jeli mendahulukan pengendara mobil yang sedikit membuka kaca dan memberi isyarat uang yang akan diberikannya.